23 May 2014

Berjanjilah, Kamu tidak akan Pergi

Saat mengetahui sosokmu harus meninggalkan Jakarta, aku hanya bisa gigit jari. Di otakku sudah terbayang betapa kerasnya rindu yang menyesakkan dada jika aku tak lagi melihatmu di layar kaca. Aku sudah membayangkan, hari-hari berikutnya aku tentu hanya memperhatikan channel Youtube dan mencari-cari sosokmu di sana, mengobati rindu dengan cara konyol. Aku tentu bisa menikmati senyummu, medokmu, suara beratmu, behelmu, kulit hitam manismu, terutama alunan biolamu; tapi semua maya, tidak nyata.

Aku telah lama mengagumimu, diam-diam memperhatikan televisi hingga larut malam hanya untuk melihatmu membuat seluruh orang di Indonesia tertawa. Sayangnya, kepolosan ini tak mungkin tersentuh oleh sosokmu yang telah punya banyak penggemar, bergelimang pujian, penuh dengan bujuk rayu hangat para fansmu. Aku ini siapa? Aku hanya gadis pemimpi yang mengagumi sosok sempurna sepertimu. Aku hanya perempuan biasa yang senang menulis tentangmu dan begadang sampai pagi demi melihat semua videomu. Aku ini hanya satu dari jutaan orang yang mencintai kamu dan cinta yang sederhana serta nampak kecil ini tentu akan tertutupi oleh jutaan cinta yang menderas mengalir untukmu.

Dari dulu, aku tak pernah berharap kita bisa dekat, namun Tuhan memutarbalikkan semua. 20 Mei 2014, mention-ku ternyata dibalas olehmu. Aku yang telah lama menyadari bahwa sosokmu telah lama diam di hati; langsung tertawa geli. Apakah ini bukan mimpi? Lalu, semua berlanjut dengan percakapan manis diselipkan beberapa emoticon yang rasanya tak bisa lagi kupercaya. Serius ini kamu? Kamu yang selama ini kugilai setengah mati? Kamu yang sosoknya selalu kupantau hanya dari layar kaca? Kamu yang kupikir tak akan tersentuh dan terjamah? Iya, kamu. Dan, aku mengikuti gayamu mengucapkan kalimat magis itu, dua kata yang selalu berhasil menghipnotis para penonton ketika mendengar suara beratmu mengantarkan pada ledakan-ledakan lucu, ledakan-ledakan rindu.

Setelah percakapan itu, kita lanjutkan pembicaraan lewat obrolan hangat di telepon. Kamu mungkin tak tahu, aku sangat berlebihan kala itu, air mataku mengalir tipis-tipis, aku sesenggukan tak karuan. Sesenggukan yang kaupikir drama, tangis yang membuat kamu tertawa. Suara medokmu menggelitik telingaku, kamu bercerita tentang profesimu selama menjadi guru, kita bercerita tentang Taylor Swift, tentang musik di masa Renaissance, kita membicarakan partitur musik Bach hingga Mozart, kita membicarakan cinta, berucap rindu, juga sesekali merendahkan nada saat saling mengungkapkan rasa ingin bertemu.

Aku merasa sudah mengenalmu, tapi di sisi lain kamu abu-abu, samar-samar, dan sulit kusentuh. Ksatria berbehelku adalah sosok misterius yang tak ingin bercerita tentang banyak hal, diam yang dia tunjukkan membuat aku semakin takut pada kehilangan. Rahasia yang tak ingin dia bagikan membuat aku semakin takut bahwa semua tak akan berakhir bahagia. Semua ketakutan itu harusnya tak perlu aku pikirkan. Dalam setiap percakapan, aku selalu merasa bahagia denganmu.

Kehadiranmu menghapus mendung kelabu hari-hariku, setiap kali kamu menyapaku, aku merasa ada matahari baru yang menyinari sudut hatiku. Wahai Mas Medokku, ketahuilah bahwa perasaan ini sudah mulai membunuh dan nampaknya aku mulai mencintai kamu. Tapi, sosokmu mengingatkan aku pada trauma yang telah sembuh, peristiwa yang terjadi saat aku masih jadi mahasiswi baru. Peristiwa ketika aku berkenalan dengan seorang pria seperti dirimu, yang kerjaannya mengundang tawa setiap orang, namun pada akhirnya dia meninggalkanku ketika aku dalam keadaan sangat mencintai dia. Aku bukan wanita yang pandai memaki dan menghakimi, aku hanya bisa mengabadikan dia dalam tulisanku yang berjudul "Dalam Tawa" di buku Jatuh Cinta Diam-diam. Aku harap kaubukan bagian dari pria yang berlomba-lomba menyakitiku. Aku harap kamu adalah sosok baru, malaikat pembawa kabar baik, yang membawa perubahan baru dalam setiap langkah dan hari-hariku. Ksatria pemain biolaku, maukah kauberjanji tetap di sini dan tidak akan meninggalkanku ketika aku dalam keadaan sangat mencintaimu?

Aku menunggu pertemuan nyata. Aku menunggu kamu dan aku menjadi kita.

untukmu yang tak percaya
cinta bisa hadir
tanpa tatapan mata.

11 May 2014

Aku Menunggumu di Jakarta

Tuan, saya menulis ini ketika pertengkaran kita entah yang telah keberapa kembali meledak lagi. Masalahnya sepele dan selalu sepele, selalu aku yang lebih dulu tersentak dan tersentuh. Aku tak tahan lagi dengan jarak yang menjauhkan kita, dengan rasa sakit yang tidak kaupahami, dengan ribuan hasutan banyak orang agar tidak mempercayaimu, dengan teriakan hati yang masih ragu akan kehadiranmu, dengan kata cinta yang selalu kaubisikkan itu, dengan perbedaan kita, dengan status kita yang serba tak jelas, terakhir; dengan jalan keluar yang tak juga kita temukan.

Aku tak tahu, Sayang, apakah langkah untuk mencurigaimu adalah hal yang benar atau hal yang salah. Mungkin, aku merasa terlalu tolol dan bodoh untukmu, aku merasa kamu terlalu sempurna dan terlalu baik untukku. Lihatlah dirimu. Kamu tampan, muda, punya segalanya, bekerja di pertambangan, dipuja banyak wanita, punya segalanya, punya penggemar, punya kharisma yang menghipnotis setiap wanita. Sedangkan, aku.... siapa aku di matamu, Sayang? Aku ini terlalu kecil, terlalu kedil, aku hanya seorang gadis semester empat, di jurusan kuliah yang banyak orang mengira hanya bisa membuat puisi dan sajak, aku kalah cantik dengan wanita-wanita yang menggilaimu serta memujamu. Aku tetap merasa bukan siapa-siapa meskipun ribuan janji dan kata cinta kamu luapkan padaku.

Aku lelah pada semua khayalan itu. Pada janjimu untuk bertemu, pada bayang semu yang kausuguhkan, pada kata cinta yang mungkin saja bualan, pada ucapan rindu yang masih abu-abu, pada rencana-rencanamu yang mungkin tak kupahami, pada maksud terselubungmu untuk mendekatiku. Kamu masih sangat buram di mataku, kamu menjelma menjadi awan kabut yang begitu sulit tersentuh matahari, kaubangun kemegahanmu sendiri, dan aku nyaman pada segala yang tak pasti, yang kauberikan dengan berani, yang seakan semua terlihat bukanlah sekadar mimpi.

Aku lelah pada setiap percakapan yang hanya bisa kita jalin lewat pesan singkat dan telepon. Aku lelah dengan ceritamu tentang mantan-mantanmu. Aku lelah menerima kenyataan bahwa aku sangat sulit masuk ke dalam duniamu. Aku sengsara mengetahui hal yang sebenarnya bahwa mungkin saja kita tak benar-benar mencintai, mungkin saja aku dan kamu hanya terjebak dalam ketertarikan sesaat, ketertarikan tolol yang selama ini kita deskripsikan sebagai cinta. Aku tak tahu, Sayang, aku sungguh tak tahu apa maksud dan tujuanmu untuk mendekatiku. Masa iya, sih, pria seberlian kamu mau saja dengan gadis tanah liat seperti aku?

Kamu tidak lelah dengan jarak dan perbedaan ini? Dengan amarah dan emosiku yang naik turun setiap kali kita menjalin percakapan di telepon, dengan angkuhnya perbedaan yang membuat kita seakan berjarak, dengan setiap air mata yang terjatuh; air matamu dan air mataku yang tiba-tiba saja terjatuh padahal kita tak pernah bertemu sebelumnya, tak pernah saling menggenggam tangan, tak pernah saling berciuman, tak pernah saling bertatap mata, tak pernah terlihat seperti pasangan normal lainnya.

Di antara semua rasa lelah itu, Sayang, sebenarnya aku menyukai kehadiranmu, dan perkenalan kita selama satu bulan ini benar-benar mengajariku banyak hal. Kamu yang begitu tampan hampir saja mengubah persepsiku bahwa tak semua pria menilai wanita dengan fisik, kamu tidak menuntut segalanya, kamu meluangkan waktumu di antara kesibukanmu, kamu berkata sayang ketika aku butuhkan banyak perhatian, kamu layaknya kakak, kekasih, belahan jiwa. Dan, atas semua dasar perasaan itu; aku semakin takut kehilangan kamu.

Aku takut kebersamaan yang telah membuatku nyaman ini, ternyata hanyalah drama yang kaubuat sedemikian rupa hanya untuk menghancurkan yang selama ini kubangun. Aku takut bahwa semua kata cinta dan janji itu hanyalah kebohongan yang kaulontarkkan karena bisa saja kamu sakit jiwa. Aku takut, sungguh sangat takut memikirkan banyak wanita yang mendekatimu dan memujamu, kamu bisa saja berpaling, menjauh, dan melupakanku ketika aku tak lagi membuatmu penasaran.

Setiap kita bertengkar, kamu selalu membuat suaramu terdengar seperti menangis dan parau. Aku tak tahu apakah benar di ujung pulau sana kaubenar-benar meneteskan air mata yang sungguh-sungguh? Aku tak tahu drama macam apa yang kaumainkan, tapi sekali lagi aku masih berada di tengah-tengah, dalam keadaan sangat mencintaimu tapi di sisi lain sangat ragu padamu, dalam keadaan sangat mencurigaimu tapi masih sangat ingin percaya bahwa semua sungguh nyata dan bukan bualan belaka.

Aku ketakutan, Sayang, namun dalam percakapan telepon tadi, kamu masih meyakinkanku. Kamu, dengan suaramu yang tak terlalu berat itu memintaku bersabar lebih lama lagi. Kamu, pria yang selalu mempercayaiku untuk mendengar segala keluh-kesahmu mengenai pekerjaanmu itu menangis dan memohon, agar aku tak lagi merengek untuk meminta pertemuan nyata. Kamu meyakinkanku, berkali-kali, bahwa pertemuan kita akan terjalin, cepat atau lambat, dan senjatamu selalu itu-itu terus, "Ingat judul bukumu yang keempat, Jodoh Akan Bertemu." Sialan! Gombalan yang berkali-kali kamu ucapakan namun tak membuatku muak.

Malam ini, dalam percakapan kita, kamu bercerita bahwa kamu sengaja pulang lebih cepat dari kilang minyak karena ingin membicarakan banyak hal bersamaku. Waktu kita memang hanya ada saat malam minggu, saat aku dan kamu berusaha tidak menyibukkan diri, dan kita sama-sama berbicara tentang mimpi (yang kita harapkan segera menjadi nyata). Kamu selalu bilang, Senin sampai Jumat, kamu jarang punya waktu untukku, maka di hari Sabtu; kamu seutuhnya milikku. Itu gombalan yang tidak membuatku muntah meskipun berkali-kali kamu ucapkan. Kamu selalu memintaku untuk bersabar menunggu, untuk setia menyimpan rindu, sampai Tuhan mengizinkan kita bertemu.

Kamu selalu memintaku untuk bersabar menunggumu di Jakarta, karena kamu akan pulang, membawa banyak sekali cerita dari pulau tempatmu bekerja, membawa banyak kenyataan yang dulunya hanya bisa kita bicarakan lewat telepon, membawa pelukan, kecupan, rangkulan, dan membalas dendam pada jarak yang selama ini menganggap bahwa kita akan kalah lebih dulu.

Oke, kutunggu kamu di Jakarta. 
Pulanglah lebih cepat.
Saya sekarat.

Saat hujan di kota penghujan
02:44, sehabis berbicara dengamu
di ujung telepon.

11 April 2014

Untuk Tuan Petualang.

Hari ini aku tidak melihat kamu, tidak menikmati mata sipitmu, rambut ikalmu, dan hidungmu yang terlihat mancung setiap aku membenamkan tatapan di wajahmu. Hari ini, seperti biasa, aku pergi ke tempat kita menimba ilmu, tempatmu dan tempatku berdiam dan belajar. Ah, Tuan, sudah dua tahun aku di sini, mengagumimu dari jarak yang sangat jauh, mungkin itulah sebab kita tak pernah saling berkata dan menyapa.

Kamu harus tahu, Tuan, setiap kita berjumpa secara tak sengaja di gedung delapan, rasanya aku hanya ingin terus menatap wajahmu dan kamu tidak pernah pergi lagi. Aku hanya ingin waktu berhenti dan wajahmu bisa kunikmati sepuas hati. Mungkin, kamu tertawa geli, gadis lugu ini benar-benar tak tahu diri. Tak tahu kalau kamu sudah ada yang memiliki, tak menyadari kamu hanya akan abadi dalam mimpi.

Tuan, ini rahasiaku, yang mungkin akan membuatmu tertawa semakin geli, semakin kencang, hingga menghasilkan setitik air lembut di pelupuk matamu. Aku sudah memerhatikanmu sejak dulu, sejak pertama kali aku menjadi mahasiswa baru. Aku yang hanya adik tingkatmu, hanya bisa melihat wajahmu dari jauh, berharap suatu hari nanti kita punya kesempatan bersama, entah bagaimana caranya, entah bagaimana Tuhan menyembunyikan segala macam rencanaNya. 

Bolehkah aku meramalkan masa depan perasaanku kelak padamu? Kamu akan sibuk dengan skripsimu, setelah lulus nanti kamu akan bekerja sebagai peneliti, dan menghabiskan sisa umurmu bersama pilihanmu. Aku yang tertinggal di sini, hanya bisa melanjutkan petualanganku sendirian. Hanya bisa berjalan di gedung delapan sambil mengenang kamu yang tertawa manis dengan membawa payung panjang di tangan kananmu. Aku tentu hanya bisa melewati kantin sastra dan mengingat kamu yang pernah makan dan bercanda tawa di situ. Aku hanya bisa menghidupkan kembali khayalmu saat kita berpapasan di tempat parkir kala itu, andai kautahu bagaimana perasaanku; rasanya aku rindu dan ingin memelukmu, tapi siapa aku di matamu? Hahaha, hanya gadis tak tahu diri yang mengharapkan sosok terlalu tinggi?

Wahai, Tuan Petualangku, aku tidak seberani itu. Aku hanya bisa mencari kabarmu dari Twitter, mencuri keindahanmu dari akun Facebook, dan diam-diam bertanya mengenai kamu pada teman-temanku. Ah, iya, aku pengecut, kamu boleh menertawakan perasaanku dan mencaciku dengan makian paling tolol. Sejak mengenalmu, aku tak bisa bedakan siapa yang pantas aku tinggalkan dan aku perjuangkan. Hatiku telah memilihmu, kamu yang justru telah lebih dulu memilih yang lain.

Sayang, aku menulis ini sambil mendengar lagu ciptaan Ahmad Dhani berjudul Immortal Love Song. Selera musikku mungkin berbeda dengan pria petualang seperti kamu. Namun, lagu ini seperti membisikkan banyak hal yang kurasakan, tentang gadis yang tak pernah meminta untuk dibalas perasaannya, tentang seseorang yang hanya bisa melihat dan memandang namun enggan mengajak bicara, atau tentang aku yang diam-diam mencintai sosokmu? Dalam lagu ini, nampak jelas ada seseorang yang jadi bodoh, alay, tolol, hanya karena ia jatuh cinta. Aku sedang dalam fase itu dan jika suatu hari nanti kaumembaca ini (kuyakin tak akan pernah kaubaca juga), pasti kamu ingin bilang aku ini gila, kelewat batas. Asal kautahu, aku tak pernah meminta pada Tuhan untuk menurunkan perasaan ini. Kebetulan, kita bertemu dan aku mencintaimu. Tapi, sayangnya aku tak pernah percaya kebetulan, Sayang. Pasti ada sesuatu, yang tak mampu kita pahami dan kita mengerti. Ada suatu rahasia yang masih Tuhan simpan. Rahasia yang terlalu abu-abu untuk kujalani.

Aku punya banyak mimpi, salah satunya bisa merasakan matahari terbenam di seluruh pantai yang terletak di dekat Gunung Kidul. Kamu mau tahu alasanku? Aku ini gadis lemah, jangan ajak aku naik gunung, aku bisa hipotermia dan mati karena dinginnya sikapmu. Aku lebih suka pantai, aku suka pasir, aku suka angin, aku suka air, aku suka suara gelombang. Intinya, aku suka semua dan aku ingin menikmati itu semua bersamamu, kalau boleh sedikit mengemis, aku ingin habiskan semua dalam pelukmu.

Oke, lupakan saja khayalan yang tak akan pernah terkabul itu. Tapi, sungguh, aku pengin beneran banget, lho, main ke pantai sama kamu. Kita menghilang bersama, melarikan diri bersama, dan mencari jalan pulang bersama.

Aku ingin menghilang bersamamu dan setelah itu; kita saling menemukan.

dari gadis gila
yang satu fakultas denganmu
yang tolol karenamu
yang sangat mencintai kamu.

08 April 2014

Aku tidak Peduli

Aku tidak peduli pada cemooh teman-temanku tentangmu. Tak ingin tahu penilaian mereka tentangmu. Mereka bilang kamu bau, perokok, jorok, tolol, dungu, tidak punya apa-apa, senang berbicara dengan tembok, dan seorang pemedam yang sangat pengecut. Aku tak mau tahu karena aku tak melihatmu dari segala sisi itu, kausempurna di mataku, kesempurnaan yang mungkin hanya bisa kubaca dan kurasa ketika kita bersama.

Aku tidak peduli pada perkataan orang-orang sekitarku bahwa kita tak akan mungkin bersama. Aku hanya bisa menjawab segala cacian itu dengan senyum dan berkata "Biarkan kami yang menjalani semua. Kami yang tahu apa yang terjadi selama ini." Dan, ketika kujawab seperti itu, mereka hanya menggenggam bahuku seakan melihat seorang  gadis yang bernasib paling buruk seluruh dunia. Aku sungguh tak merasakan keburukan itu, bersamamu; kurasakan kebahagiaan yang tak bisa kujelaskan, kebahagiaan yang tak akan pernah mereka pahami.

Aku tidak peduli pada kedekatan kita yang semakin hari semakin tak jelas ini. Kedekatan yang tak kian hari kian tak kupahami. Aku tahu kau di sampingku, bersamaku, tapi kita seakan berjarak meskipun dekat, seakan saling menghilangkan meskipun telah menemukan. Aku tak tahu kesalahan ini dinamakan apa. Hal yang begitu jelas kutangkap, aku hanya gadis tak tahu ini itu tapi tahu mencintai kamu. Ketika pertama kali jadi mahasiswa baru dan bertemu denganmu, kemudian menatap matamu, mengetahui namamu, dan semua ketidaksengajaan itu berlanjut pada percakapaan intens yang membuatku takut kehilanganmu. Ketika semua berawal dari hal sederhana itu, aku tahu semua akan berlanjut dan mungkin tak punya akhir yang pasti. Sekarang, setelah sabar menunggu selama dua tahun, prasangka itu pun terjawab sudah; hubungan kita (seakan) tak bergerak sama sekali. Kita berjalan dan berpindah tapi seakan berputar di tempat yang sama, kita berjalan beriringan tapi tak kunjung bertemu di ujung jalan.

Aku tidak peduli pada perubahan sikapmu yang semakin sulit kutoleransi. Kamu yang selalu hilang ketika kubutuhkan, kamu yang menjawab pesan singkatku dengan jumlah karakter yang bisa dihitung jemari, kamu yang kudengar telah dekat lagi dengan seseorang yang baru, dan kamu yang seakan tak pernah menujukkan cinta dalam tatapan matamu padaku. 

Awalnya, aku memang tidak peduli pada perasaan, status, dan cemooh orang lain tentang hubungan kita. Perkataan-perkataan bodoh dan penilaian negatif bahwa kita tak akan mungkin bersama. Aku menutup telinga dan tetap berusaha memelukmu dalam bayang-bayang, peluk hangat yang mungkin tak pernah kaurasakan secara nyata hingga sekarang.

Dua tahun, Sayang, aku berusaha tak peduli pada persepsi mereka, pada datang dan pergimu, pada rasa takut yang selama ini menghantuiku. Tapi, setiap kunikmati wajahmu dari kejauhan, setiap kunikmati aroma tubuhmu yang duduk di sampingku pada perkuliahan tadi, setiap kulihat wajahmu saat mengembuskan asap rokok, dan setiap kudengar kabar bahwa kausedang dekat dengan yang lain; rasanya aku ingin berhenti saja mencintaimu dan amnesia pada kedekatan kita yang telah terjalin selama dua tahun itu.

Aku tidak peduli, namun semakin aku tidak peduli, semakin aku takut kehilangan kamu.

dari pengangummu
yang egois nomor satu
bodoh nomor satu
karena dia hanya tahu;
mencintai kamu.

08 March 2014

Setelah Bertemu Kamu



Aku berada di antara ratusan rak buku yang seakan-akan memandangiku dan bertanya-tanya. Jantungku berdebar-debar menunggu kamu, mungkin pertanyaan itu yang disimpan para rak buku dan bangku serta meja yang menungguku memberi jawaban. Pesanmu yang kubaca kembali membuat senyumku mengembang, kamu sudah di lantai dua, dan janji kita untuk bertemu sebentar lagi akan tergenapi. Aku menatap wajahmu, kamu menatap wajahku.

Siang itu, udara Depok sangat terik. Sambil melihat isi lini waktu Twitter, aku berharap kebosanan saat menunggumu bisa segera mereda. Tiba-tiba, suara berat itu menyapaku, kamu menjabat tanganku, tersenyum malu-malu, dan memperbaiki kaca matamu. Aku terkejut, setelah berminggu-minggu kita menjalani hubungan yang entah-harus-disebut-apa, akhirnya kita bisa bertatap mata. Seperti yang kukatakan sejak awal, rasa terkejutku dibarengi dengan suasana kedap suara yang hanya bisa ditemukan dalam novel-novel cinta. Dan, kalau kamu mau tahu, kalau kamu mau memaklumi sikapku, aku merasakan apa yang terjadi dalam novel-novel itu; semua kedap suara. Hanya suaramu yang terdengar, hanya suaramu yang mengalun pelan, aku tak tahu ini apa, terlalu terburu-burukah jika kusebut cinta?

Perpustakaan Pusat UI kala itu seperti memahami kita, aku dan kamu duduk berdua, bersebelahan, berbagai cerita,  dan kita bertatapan mata. Aku mulai ragu, setiap memadang matamu dan menelusup ke balik kaca matamu. Ada perasaan rindu yang tersembunyi di sana, kecemasan yang tidak kupahami ketika kamu sebut nama kekasihmu.

Aku menghela napas, rasa sakit itu menyeruak dan menganga lebih besar lagi. Amarahku tiba-tiba membuncah, amarah yang kutahan, kupendam, selama berbulan-bulan. Kamu bercerita tentang kekasihmu dan kamu masih sempat memanggilku dengan panggilan 'sayang'. Aku menelan ludah, menghela napas pasrah, berharap ini semua hanya permainan yang akan segera berakhir, dan yang kumau aku bisa keluar menjadi pemenang. Tapi, setiap mengingat itu, aku takut justru akulah yang kalah, dan aku hanya bisa melihatmu dan kekasihmu bahagia, kemudian menerima kenyataan bahwa aku tak pernah ada di mata dan hatimu.

Aku hanya tersenyum saat mendengar ceritamu, senyum yang semakin lebar saat berkali-kali kau menyebut nama dia, namun jemarimu menggenggam tanganku, rasa sakit yang semakin dalam saat kulihat wajah wanita itu berada dalam wallpaper ponselmu setiap kali kamu menyentuh layar benda kecil itu. Setiap kali kaucerita tentang dia, aku berusaha tertawa geli, begitupun saat malam hari kamu kembali menarik wanita itu dalam setiap percakapan kita di telepon. Aku merasa posisiku sangat kecil. Aku merasa kamu semakin jauh. Aku merasa aku mulai mencintaimu, ketika kutahu aku mulai cemburu dan takut kehilangan kamu.

Aku tak tahu bagaimana perasaanmu padaku, apakah kamu menganggapku penting atau hanya menganggapku halte tempat kamu singgah sebentar kemudian pergi lagi bersama kekasihmu. Aku tak tahu apakah kata sayang yang kamu ucapkan, kamu bisikkan ketika kamu memegang tanganku adalah isyarat yang sungguh terjadi, ataukah semua yang kita jalani selama ini hanya bualan semu dan aku tertipu terlalu jauh?

Siang itu, saat kamu pamit meninggalkanku dan kembali ke kampusmu, aku hanya memberi sedikit senyuman dan menepuk bahumu. Aku berdoa dalam hati agar kita bisa bertemu lagi. Namun, ketika kutelusuri lagi matamu, kuselami lagi dunia dalam jelaga matamu, rasanya aku tak ingin semua ini berakhir. Rasanya aku tak ingin kamu pergi. Rasanya aku ingin memilikimu seutuhnya walaupun pada akhirnya kamu akan kembali pada kekasihmu.

Terima kasih untuk hari yang menyenangkan. Sepertinya aku mulai menggilaimu.

Untuk pria berkacamata

yang sibuk dengan dunianya

sibuk dengan kekasihnya

namun masih sempat menaruh hati

pada perempuan tak tahu diri...

Aku.