31 January 2014

Buku #JatuhCintaDiamDiam TERBIT!

Judul Buku: Jatuh Cinta Diam-diam
Penerbit: Plotpoint
Terbit: 10 Januari 2014
Jumlah Halaman: 236 halaman
Penulis: Dwitasari


Bukan keinginanmu untuk terus memendam cinta. Bukan kemauanmu untuk terus diam meskipun ada perasaan yang sangat dalam. Diammu, bisumu, dan rasa bertahan untuk tidak mengungkapkan itulah yang membuat cinta yang kaurasakan justru makin terlihat ada dan nyata. Lalu, dari jauh kauhanya bisa menatapnya, berharap dia bisa merasakan perasaanmu tanpa harus kamu ungkapkan. Setiap hari, kauhanya bisa mendoakannya, meyakini bahwa Tuhan akan selalu menyelimuti dia dengan kebahagiaan. Namun, sampai kapan kamu bertahan untuk terus diam?

Masuklah ke dalam empat belas kisah penuh perjuangan, tawa, canda, juga air mata. Ini kisah tentang seorang pria Wonogiri yang mencintai tembang lagu Didi Kempot. Pria yang hanya tahu meracik mie ayam ternyata bisa juga diam-diam mencintai wanita Jakarta yang penuh gelimang harta. Apakah kisah mereka berakhir bahagia? Temukan dalam cerita berjudul RASA. Lalu, jika kamu telah membayangkan pria Wonogiri yang gerak-geriknya pasti menggelikan, kamu tentu akan tertawa terbahak-bahak hingga matamu berair. Ah, air mata yang berasal dari tawa, namun sadarkah kamu orang yang membuatmu tertawa paling kencang juga berpeluang membuatmu menangis lebih kencang? Temukan kisah manis ini dalam cerita berjudul DALAM TAWA. Siapakah seseorang yang bisa membuatmu tertawa? Apakah dia pria berlogat betawi yang selalu terlihat becanda namun ternyata di dalam hatinya tersimpan perasaan yang sulit untuk kautebak? Jelajahi kisah itu dalam cerita berjudul SUSU KALENG. Saat membayangkan susu kaleng, mungkin kamu membayangkan betapa dirimu pernah dalam keadaan haus dan letih serta kepanasan karena teriknya matahari yang menyinari tubuhmu. Perasaanmu sungguh sama dengan Ayesha, wanita berjilbab yang menambatkan hatinya pada pria yang mengenakan kalung salib di lehernya. Temukan kisah mengharukan itu dalam cerita MEMILIH.

Masih ada sepuluh kisah lagi yang tersimpan rapat, kisah-kisah yang saya kumpulkan setelah bertemu dengan macam-macam pria, kisah-kisah yang kamu rasakan sekarang atau bahkan beberapa tahun yang lalu, kisah yang diam-diam ingin segera meloncat keluar dari lubang persembunyian hatimu. Apakah kaumasih kuat menunda agar tidak membaca kisah dalam buku ini?

SEGERA MILIKI atau kisah cintamu menyentuh titik BASI!

Buku #JatuhCintaDiamDiam bisa kamu miliki dengan bonus Tanda Tangan Dwita dan kamu berkesempatan mengikuti undian berhadiah iPod Shuffle untuk kamu dan seseorang yang ada dalam hatimu.

BISA PESAN MELALUI:

@PengenBuku
Cara: Kirim email ke pesanpengenbuku@gmail.com berisi nama, alamat lengkap, nomor hp, jumlah buku, dan judul buku atau bisa klik di sini jika mau pesan via website
  
Cara: Kirim email ke admin@buku-plus.com berisi nama, alamat lengkap, nomor hp, jumlah buku, dan judul buku atau bisa klik di sini jika mau pesan via website.

@BukuKita
Cara: Kirim sms ke 083870009010 berisi nama, alamat lengkap, nomor hp, jumlah buku, dan judul buku atau bisa klik di sini jika mau pesan via website.

Cara: Kirim email ke admin@kutukutubuku.com berisi nama, alamat lengkap, nomor hp, jumlah buku, dan judul buku atau bisa klik di sini jika mau pesan via website.

@ParcelBuku
Cara: Kirim email ke parcelbuku@gmail.com | WA: 087877892584 | PIN BB: 759EE4EF berisi nama, alamat lengkap, nomor hp, jumlah buku, dan judul buku atau bisa klik di sini jika mau pesan via website.

@MizanStore
Cara: Klik di sini untuk pemesanan buku via website.

Cara: Kirim sms ke 087873326059 berisi nama, alamat lengkap, nomor hp, jumlah buku, dan judul buku

PESAN BUKUNYA SEKARANG! Jumlah sangat terbatas, siapa cepat, dia yang dapat. :* So, Grab it fast! 


Sudag tersedia di toko buku terdekat juga. :)

19 January 2014

Azan Subuh di Masjidmu dan Dentang Bel di Gerejaku

Azan subuh yang terdengar di telingaku kali ini mengiringi tulisanku. Keputusanmu beberapa jam tadi belum bisa kuterima sepenuh hati. Kata putus yang dengan mudahnya kamu tuliskan dalam pesan singkat seakan-akan membuat aku berpikir bahwa selama ini aku tak pernah terlihat penting di matamu, terlihat berharga pun juga rasanya hanya mimpi belaka. Aku tidak bisa terlelap, memikirkan dan bertanya-tanya apa kesalahanku selama ini. Rasanya kemarin kita baik-baik saja, kamu masih menyapaku, menghubungiku, berkata sayang seperti biasanya. Dan, kata putus itu terlalu ajaib menyentil kelopak mataku, hingga deras air yang jatuh berderai-derai itu tak lagi mampu aku antisipasi.

Kamu tahu? Saat membaca pesan singkat itu, aku baru saja pulang dari pertemuan yang habis menguras tenaga dan pikiranku. Dalam pertemuan itu, aku mati-matian berdebat mengenai tulisan dan ide pokok untuk novelku berikutnya. Aku pulang, terluntang-lantung, kehujanan melawan banjir Jakarta, dan segera menaiki taksi agar bisa meraih rumah secepat mungkin; untuk memberi kabar terbaik ini padamu. Namun, apa yang kudapatkan? Kata putus tanpa penjelasan, kata pisah tanpa persetujuan, dan aku tak perlu berpanjang lebar untuk menjelaskan perasaanku kala itu. Aku remuk.

Sampai saat menulis ini, aku masih mencari-cari kesalahanku sendiri, dan bertanya-tanya pada diriku; sesungguhnya apa yang terjadi? Aku bahkan tak tahu di mana kesalahanku, kamu hanya bilang ingin mengakhiri semua, tidak kuat dengan sikapku, ingin mencari yang lain, dan pergi tanpa mengucap kata pisah. Aku yang tak ingin memperparah keadaan hanya bisa bilang maaf, lebih perih lagi ketika panggilan telepon dariku tak kaugubris sementara kamu sibuk dengan akun Twitter-mu. Entahlah, aku tak tahu pria macam apa yang kucintai hingga saat ini, pria sebodoh apa yang mudah meninggalkanku tanpa penjelasan dan alasan?

Kalau kaubilang semua karena salib di kalungku dan tasbih di tanganmu, rasanya itu lagu lama. Kita bisa akhiri semua bahkan saat pertama kali kita berkenalan. Kalau kaubilang aku terlalu sibuk dengan duniaku, berarti kamu memang adalah pria posesif yang ingin semua perintahnya diutamakan bagai Hukum Taurat. Kalau semua ini terjadi karena sikapku (yang katamu) terlalu kekanak-kanakan, maka bolehkah aku menuntut sikapmu agar tak lagi egois, kerasa kepala, membentakku dengan kasar, memakiku dengan mudah, dan mengintimidasiku dengan pertanyaan-pertanyaan seakan akulah yang membuat hubungan kita bermasalah?

Mas, oke, aku tahu, aku sangat tahu perbedaan umur, kota, pekerjaan, dan semua hal yang tak sama itu kadang membuat kita berpikir dua kali. Tapi, tolong, Mas, tolong sekali saja kamu hargai perempuan yang habis air matanya untukmu, yang pikirannya selalu terisi olehmu, yang bahkan dalam kesibukannya masih ingin mengabarimu. Mas, lihatlah siapa yang masih tegar berdiri di sampingmu saat kamu kelelahan menghadapi dunia? Tengoklah sedikit ke arah perempuan yang bersedia jadi tong sampah tempat kamu meluapkan semua amarahmu meskipun dia tak melakukan kesalahan. Aku, yang selama ini duduk di sampingmu, memeluk erat bahumu, ternyata hanya bayangan yang abu-abu di pandanganmu.

Kesia-siaan ini harusnya kusadari sejak awal. Harusnya sinyal itu kuartikan dengan sangat jeli. Aku tahu kamu hanya menganggapku persinggahan, aku sangat tahu bahwa saat kamu menatapku, menggenggam tanganku, mencium keningku.... ah! Harusnya aku tahu itu bukan cinta, harusnya aku paham bukan aku yang selama ini kaucintai setengah mati. Harusnya aku tak perlu bermimpi terlalu jauh. Sekarang, kamu tentu sudah bisa tidur nyenyak, sementara aku sekarang masih menangis dengan mata bengkak-bengkak.

Tulisan sialan, air mataku meleleh sekali lagi. Hujan di luar masih turun dan aku yang kedinginan namun enggan menghangatkan diri di bawah selimut ini rasanya ingin terus kedinginan, hipotermia, mati, lalu hilang ingatan. Menghilangkan semua kenangan yang pernah kita lalui bersama, jadi saat aku terbangun lagi, aku tak perlu ingat namamu, pekerjaanmu, pertemuan pertama kita, pertama kali kamu bilang cinta, lagu kesukaanmu, aroma tubuhmu, rambutmu, kumismu, matamu, hidungmu, wajahmu, jenjang lehermu, dengung sepeda motormu, hujan di kepala kita berdua, jalan yang pernah kita lewati, udara Jogja, dan tempat pertama kali kita menghabiskan bakmi jawa. Aku benci harus mengingat semua tentangmu karena hal-hal tolol itu selalu membawaku ke masa yang sangat ingin aku ulang, ke hari-hari saat kita masih baik-baik saja, ke masa lalu yang semua kini hanya bayang semu.

Mas, sambil menunggu dentang bel gereja, aku mencoba menulis ini untuk melegakan perasaan. Saat pagi nanti, seperti biasa aku akan bercerita panjang lebar pada pastor dan pasti beliau tertawa karena lagi-lagi aku jatuh cinta dengan orang yang tempat ibadahnya berbeda. Tawa pastor itu setidaknya bisa sedikit memberiku harapan, bahwa aku masih punya alasan untuk melanjutkan hidup.... walau tanpa kamu.

dari mantan kekasihmu
yang katamu selalu penuh cemburu,
yang selalu jadi bahan ejekan temanmu,
namun selama ini kautak tahu
dia rela berdarah-darah; hanya untukmu.

17 January 2014

Aku Rindu Kamu yang Dulu

Setelah pertengkaran kita semalam, rasanya aku masih belum paham; pria macam apa yang dulu bisa begitu kucintai. Aku tidak pernah melihat kamu yang seperti ini. Kamu yang tang tak peduli, kamu yang mengucapkan janji setengah hati, kamu yang selalu marah setiap kali kutanya siapa wanita-wanita itu, kamu yang tak pernah mau jelaskan dan menjawab pertanyaanku, dan kamu yang kali ini tidak lagi kukenali. Aku tidak tahu siapa pria yang kali ini membalas pesan singkatku, pria yang begitu mudah berkata putus, kemudian mengeluarkan makian dalam bahasa Jawa, lalu menonaktifkan ponsel tanpa memberikan penjelasan apapun.

Kamu tahu, Sayang, aku sudah sesabar apa. Aku rela tidak menuntutmu ini itu, karena pekerjaanmu yang segunung dan tak bisa sering-sering memberi kabar untukku. Aku tidak memintamu selalu menghubungiku sepanjang waktu, berusaha tak memarahimu ketika kamu lelah dengan pekerjaanku dan melarikan semua amarahmu dengan cara menyakitiku. Aku setia jadi tempat curahan hatimu, tempat kamu membentak seluruh isi dunia, tempat kamu membenci hari-hari. Aku berusaha sekuat mungkin jadi dinding kokoh yang kauludahi, kaucoret-coret, kaukotori tanpa aku memakimu balik. Apakah kautak melihat kesabaran hati seorang perempuan dari semua sikapku yang selalu menahan diri untuk tak menangis di depanmu?

Kamu tak lihat air mataku, tak lihat juga seberapa parah lukaku selama ini. Aku tak pernah berusaha berteriak seperti kamu selalu meneriakiku, tak ingin memaki dengan bahasa Jawa kasar, tak mau melukaimu seperti kamu selalu melukaiku. Sebutkan padaku, Sayang, perempuan mana yang rela berdarah-darah untukmu selain ibumu dan aku? Perempuan mana yang ada bersamamu bahkan dalam sakit dan lemahmu jika bukan ibumu dan aku? Apakah perempuan lain yang selalu kaudatangi dan kaucumbu itu bisa bertahan denganmu bahkan dalam keadaan terburukmu? Apakah perempuan lain yang selalu membuatku harus bersabar lebih banyak lagi ada perempuan yang pantas kaudatangi? 

Sayang, sadarlah, suatu saat nanti perempuan jalang yang kaucumbu meskipun hanya lewat kata itu akan pergi, mengisap habis seluruh kekuatan dan dayamu, pada akhirnya kamu akan terseok-seok berjalan ke arahku. Namun, masa itu belum datang, Sayang. Saat ini, kamu hanya melihatku sebagai perempuan ingusan yang bahkan belum lulus kuliah. Perempuan egois, labil, cabe, emosi, tak tahu diri yang hanya ingin dikabari sepanjang hari. Sayang, kamu melihatku hanya dari sisi yang paling kaubenci. Kaubelum paham bahwa perempuan yang takut kehilangan kamu adalah perempuan yang sangat mencintai kamu. Masa itu akan datang, Sayang, saat aku tak lagi memedulikanku dan kamu bersungut-sungut memintaku pulang.

Kali ini, biarkan hatiku teriris sendiri. Biarkan aku yang terluka parah, biarkan aku yang  menangis diam-diam sekarang. Tapi, lihatlah nanti, Sayang. Suatu saat nanti, air mataku berubah jadi senyum tak berkesudahan. Aku sebenarnya tahu apa yang harus kulakukan, pergi meninggalkanmu, melupakanmu, dan menganggap semua tak pernah terjadi. Namun, sekarang aku masih sabar untuk menghadapimu, aku masih ingin memberimu kesempatan untuk yang ke beribu kali. Jika kesabaranku ini masih ingin kamu sia-siakan, mungkin jalan terbaik memang harus pergi. Karena kamu bukan lagi pria yang kukenal seperti dulu lagi, bukan pria manis yang kucintai karena ketulusan dan keramahannya.

Kini, kamu adalah pria kasar yang tak segan-segan mengeluarkan kata makian, hujatan, dan kata-kata lain yang menusukkan jarum-jarum kecil di hatiku. Kamu berubah jadi pria lain, pria egois yang selalu ingin dimengerti kesibukkannya, dan membiarkan aku menunggu sabar tanpa melawan ataupun membuka suara. Aku tak tahu mengapa perjuanganku hanya kauanggap angin lalu. Apa matamu tak terbuka untuk menyadari siapa perempuan yang selama ini jatuh bangun hanya untuk mencintaimu?

Biarlah waktu yang membuatmu sadar, Sayang. Biarkan aku yang hanya kauanggap angin lalu ini pergi pelan-pelan dari hidupmu. Beri aku kesempatan untuk menghirup udara bebas dan tak lagi menangisi sikap cuekmu selama ini. 

Permintaanku tak banyak, aku hanya ingin kamu yang dulu kembali lagi ke masa kini. Entahlah.... rasanya aku sangat ingin kamu yang dulu. Kamu yang lugu, polos, dan selalu takut kehilangan kamu. Aku rindu kamu yang dulu.

untuk yang selalu menganggapku adik
yang selalu percaya, cinta yang kurasa;
hanya bualan belaka.

23 December 2013

Sebelum Kita Berpisah

Insiden semalam cukup membuatku terpukul. Sebenarnya hanya peristiwa sederhana, kamu tidak mengangkat panggilan teleponku karena ketiduran, namun entah mengapa sinyal yang semakin ingin kutolak itu akhirnya terasa juga. Semoga ini bukan pertanda bahwa kamu bukan lagi pria yang kukenal. Aku belum tahu apakah semua perubahanmu hanya karena kamu telah bosan denganku yang selama ini tak mengirimkan tanda atau mungkin kamu sudah menemukan wanita lain yang bisa membuatmu merasa nyaman dan utuh.

Aku berusaha diam dan hanya bisa mengamatimu, pertemuan kita terakhir sudah jadi alasanku merasa sedih beberapa hari ini. Kita jarang bertemu dan tentu kautahu jarak kita yang sangat jauh membuat aku dan kamu jarang-jarang bertatap muka dan mata. Tapi, kamu sia-siakan waktu pertemuan kita sambil berbicara dengan rekan-rekanmu yang lain, lalu kamu asik dengan ponsel yang selalu ada dalam genggamanmu. Entah dengan jemarimu itu kausedang bercakap dengan siapa.

Selama ini aku mencoba tak bicara, aku mencoba menerima bahwa kita kini tak lagi sama. Perbedaan itu semakin terasa, ketika kaumulai berbicara soal wanita-wanita berjilbab yang mencuri  perhatianmu. Kamu tak tahu betapa saat itu perasaanku sangat terpukul dan aku tak tahu selama ini kauartikan apa kebersamaan kita yang menginjak satu tahun dua bulan ini. Maksudku, apa kamu berusaha memberiku sinyal bahwa kamu meminta aku menjauh dan tak lagi berharap kita bisa sedekat dulu lagi. Apa kauingin aku memahami, bahwa kekuranganku yang tak bisa menemanimu lima waktu itu adalah kesalahan yang harus kusadari?

Gara-gara menulis ini, aku kembali mengingat awal perkenalan kita yang manis, yang melupakan jauhnya jarak dan segala perbedaan. Ini salahku, tentu, saat itu kamu sedang cinta-cintanya denganku, namun aku malah asik dengan pria lain di luar sana yang bagiku terlihat menarik. Aku mengabaikanmu, aku tak ingin dengar bisikkan cintamu, lalu kita menjalin hubungan dengan status yang entah harus disebut apa. Sejujurnya, aku tahu dari awal kamu tak dekat dengan siapapun kecuali aku, tapi aku tak mau hargai kesetiaanmu, aku malah membagi hati pada pria-pria yang bibirnya manis dan pandai menenggelamkan aku pada harapan palsu. Aku sadar bahwa perubahanmu adalah kesalahan yang harusnya kusadari sejak awal, tololnya aku baru menyadari semua ini ketika tiba-tiba kamu berubah jadi pria yang sangat berani, pria yang tak ingin kutindas lagi, pria yang mungkin suatu hari nanti akan meninggalkanku tanpa basa-basi.

Setiap mengingat ini, rasanya aku ingin menangis. Aku baru sadar bahwa ternyata aku sangat membutuhkanmu, aku baru menyadari betapa kamu mencintaiku justru saat kamu telah berubah jadi seseorang yang tak lagi terlihat mencintaiku. Saat pria-pria itu pergi, akhirnya aku tahu ternyata selama ini aku mengejar hal yang salah. Selama ini aku terlalu asik dengan duniaku dan mengesampingkan perasaanmu. Kuingat lagi masa-masa itu, saat kamu jauh-jauh datang dari kotamu namun aku justru pergi mencari pria yang memberi bayang-bayang semu, padahal jelas-jelas ada kamu yang nyata dan ada. Aku menyesal pernah melakukan hal itu padamu dan saat kauberubah seperti ini, rasanya aku ingin mengulang waktu agar aku bisa memelukmu, menggengam tanganmu, dan merasakan embusan napasmu sehangat kemarin. 

Kali ini, aku merasa kamu semakin jauh. Hubungan kita saat ini seakan seperti formalitas karena masih ada hal yang belum terselesaikan. Hal itu kutahu ketika kutatap matamu, tak ada teduh rindu yang kutemukan lagi di sana. Saat kaugenggam jemariku, tak ada lagi hangat dari eratnya penyatuan jari-jari kita. Kembali kuingat percakapanmu tentang wanita jilbab itu, aku tak bisa terus menahanmu untuk mempertahankan hubungan ini.

Aku tahu, kamu pun tak ingin munafik. Seorang pria muslim pasti ingin menjadi imam untuk wanita yang salat bersamanya, memimpin salat jamaah bersama dengan buah hati mereka, dan kamu tentu ingin naik haji bersama seorang wanita yang sangat kaucintai. Aku tahu itu dan aku sebagai wanita yang merayakan hari raya di tanggal dua puluh lima Desember hanya bisa berharap, kauselalu bahagia meskipun suatu saat nanti kita harus berpisah.

dari perempuan
yang selama ini
kauanggap; adik.

17 December 2013

Terima kasih telah menyembunyikanku

Kita sudah hilang kontak sejak lama, sejak aku meninggalkan Jogja untuk beberapa bulan. Alasanku cepat-cepat pergi karena masih banyak hal yang harus kuselesaikan di sini. Kuliahku, tulisanku, dan beberapa lagu-lagu rindu yang sebenarnya hanya tertuju untukmu. Dengan mata yang terantuk kantuk sehabis mengerjakan tugas kuliah ini, tiba-tiba aku ingin menulis tentang kamu. Tentang pria yang selalu datang pergi, hadir dan hilang, dekat dan menjauh; kamu.

Aku tak tahu apakah liburan kali ini aku bisa pulang ke Jogja. Aku juga tak mau berjanji jika bisa menemuimu akhir tahun ini, seperti beberapa tahun lalu kita menghabiskan tahun baru di gereja depan UKDW, sambil melihat kembang api di dekat alun-alun utara dan menikmati dinginnya Jogja di malam hari. Seandainya kautahu, di sini aku setengah mati merindukanmu. Denyut napas dan helaan jantung juga turut menginginkan kamu ada di sampingku, sedekat ketika kita saling menatap di lantai dua Mister Burger di Jalan Sudirman. Semua hal tentangmu masih hinggap di kepalaku, juga saat kaugenggam jemariku, kautuntun aku menari di bawah hujan di area Plengkung Gading kala itu.

Ingatanku kembali menyerap sosokmu lagi, saat kamu datang ke rumah dan simbahku berkali-kali bertanya soal kita. Aku  bisa jawab apa? Hanya dengan tawa miris yang sebenarnya begitu sulit kutunjukkan. Kamu mengangguk lemah dan dengan bahasa Jawa halus kaujelaskan segalanya. Kaubilang aku adalah kekasihmu, kebangganmu, kecintaanmu nomor satu. Simbahku tersenyum, seakan beliau merasakan yang ia rasakan dulu bersama kakekku.

Kita berpamitan sebelum meninggalkan rumah, kamu mencium tangan simbahku sembari berpamitan. Aku memerhatikan kejadian itu, seakan tak percaya bahwa kaulah pria yang kukenal selama ini. Setelah kita putus, rasanya aku tak ingin mengaku bahwa hubungan kita telah berakhir di depan banyak orang yang bertanya soal kebersamaan kita saat ini. Karena, aku dan kamu berusaha terlihat baik-baik saja, kamu masih sering datang ke rumah, mengajakku makan malam, memintaku menemanimu melihat beberapa bangunan di Jogja untuk kaugambar. 

Aku pernah sangat mencintaimu, pernah sangat mengerti bahwa kita dulu punya perasaan yang sama. Di atas sepeda motormu yang suaranya selalu kubenci, kamu memintaku memelukmu sangat erat. Aku ingat saat itu sedang lampu merah di dekat Jalan Solo. Ketika melewati sekolah SMA-mu dulu, kamu memekik Mars De Britto sambil ketawa cekikikan. Aku tak tahu apa yang kautertawakan, aku juga tak tahu apakah tawa itu adalah tawa yang kaupaksakan karena tahu esok hari aku akan meninggalkan Jogja lagi.

Kauarahkan sepeda motormu ke Jalan Sudirman, kita berhenti di tempat biasa kita menikmati suara kendaraan bermotor sambil bercerita banyak hal megenai aku dan kamu. Kamu menyentuh pipiku, rambutku, dan mencubit hidungku sampai merah. Entah mengapa, aku tidak melawan, karena hari itu adalah hari terakhir aku bisa menatapmu sedekat ini. Setelah ini, aku tak perlu lagi bersembunyi dan kamu tak perlu lagi menyembunyikanku. Selamanya, aku akan jadi adikmu, mantan kekasih yang diam-diam masih sering merindukanmu.

Sambil menatap matamu yang teduh, sesekali kuperhatikan jari manismu. Kamu memberiku undangan dengan namamu dan nama seorang wanita yang beberapa minggu lagi menjadi satu daging bersamamu. Benda itu sudah cukup jadi alasan agar aku mematikan perasaan.

Terima kasih untuk persembunyian yang menyenangkan, terima kasih untuk peluk hangat yang diam-diam kauberikan untukku meskipun saat itu kekasihmu mengirimi pesan singkat berkali-kali; pesan yang tak kaugubris sama sekali. Ah, rasanya setiap mengingat ini, aku ingin lari. Pria macam apa yang bisa kucintai sampai berdarah-darah begini?