19 September 2011

Kala itu. Dia Pemeran Utamanya


            Pada sepotong siang saat matahari mengerang berang, aku duduk diam menunggumu. Di bawah pohon beringin yang daunnya mulai berguguran karena musim kemarau, kau membuatku tegang membisu. Ditemani es kelapa yang setia menyejukkan tenggorokanku, kau masih saja menempuh perjalananmu. TransJogja berlari-lari kecil, berlalu-lalang melewati aku yang mematung disitu. Iseng, kembali kuintip jam tangan berwarna biru tua yang terlilit manis ditangan kiriku, pukul 14:30 dan kau belum juga menampakan batang hidungmu.
            Stadion Mandala Krida kala itu menjelma menjadi "kompor" tanpa gas, sejauh mataku memandang terlihat bayangan fatamorgana yang meliak-liuk menggoda mataku. Bayangkan! Yogyakarta kala itu panas sekali! Berkali-kali kuusap keringat yang menyerah diam setelah disekresikan kulitku yang terbius panas. Untuk kedua kalinya, aku menatap jam tanganku, pukul 14:31, lama sekali! Memang saat kita menunggu, satu menit pun terasa begitu lama.
            Beberapa menit kemudian, saat aku sedang sibuk berpangku tangan, sebuah sepeda motor Xirion yang masih kinclong menghampiri tempat dudukku. Sang pengendara sepeda motor membuka helmnya.
            "Hey!" Sapanya riang diikuti senyumnya yang cukup manis.
            "Eh, Mas..." Jawabku sambil terbangun dari tempatku mematung.
            Pria itu turun dari sepeda motornya, menghampiri aku yang tersenyum malu, "Aku Senja, Dek." Sambil mengulurkan tangan, dia mengerlingkan matanya, menatapku.
            "Aku Karin, Mas." Aku membalas uluran tangannya, lalu beberapa detik kami saling bertatapan, saling menyorot mata dalam-dalam. Aku tersadar dari momentum yang hampir membuat kami berdua terlamun, setelah bersalaman cukup lama, aku melepas tangannya.
            "Ini, Mas. Es kelapanya aku pesenin dua. Diminum ya!" Ucapku seadanya, perasaan grogi memelukku dengan sangat kuat. Sekali lagi, aku mematung.
            "Iya, Dek. Makasih ya. Kamu udah lama po nunggu aku tadi? Maaf yo." Nada penyesalan terdengar melalui ucapannya, dia tertunduk.
            "Oh, rapopo, Mas. Tidak ada pertemuan yang harus diselimuti dengan penyesalan. Haha teko tenang to." Aku menghiburnya melalui perkataanku, lalu dia tersenyum kecil dan menatapku.
            Senja mulai melepas jaket yang ia kenakan sejak mengendarai sepeda motor. Tangan kanannya disembunyikan dalam kantong yang berada dijaketnya. Entah apa yang dia lakukan. Aku sibuk menatap jalan raya di depan stadion Mandala Krida sambil menyeruput es kelapa yang sisa setengah gelas. "Buatmu!" Ucapannya mengagetkanku. Satu tangkai bunga mawar putih kala itu memenuhi seluruh pandangan mataku, bunga yang digenggam oleh seseorang yang bahkan baru pertama kali kutemui.
            "Loh? Beneran?" Tanyaku tersipu malu, aku benar-benar tak berani menatap wajahnya sedikitpun, pipiku memerah. Sial! Perasaan idiot semacam apalagi ini?
            "Beneran lah, Dek! Maaf yo gara-gara beli ini aku malah telat e janjiannya." Jawabnya sambil mengenggam mawar putih itu. Dia sangat berani menatap wajahku.
            "Iya, Mas enggak apa-apa kok. Makasih banyak ya." Ucapku terbata-bata sambil mengenggam mawar putih itu. Kadang, setangkai bunga pemberian dari seorang pria mampu membuat seorang wanita tersipu malu.
***
            Kami mulai memperbincangkan banyak hal. Dari soal hobi, keluarga, sekolahku, kuliahnya, tugas maketnya, tugas gambarnya, dan banyak hal menarik lainnya. Kala itu, Yogyakarta tak lagi terasa panas, semilir angin setia memainkan rambutku dan rambutnya. Suara daun yang bergesekan dengan jalan membuat semua mengalir apa adanya. Dia tersenyum, aku mengerlingkan mata. Dia menatapku, aku menyelami sinar lembut dimatanya.
            Jam tanganku menunjukan pukul 16:00, entah mengapa waktu berjalan begitu cepat.          Apa kali ini jarum jam membohongiku dengan berlari-lari kecil agar aku segera mengucapkan kata "Aku harus pulang." pada Mas Senja? Tuhan, aku masih ingin menikmati suara tawanya.
            "Mas, sudah sore. Aku harus pulang."
            "Kok cepet banget dek?"
            "Sudah 1 jam lebih 30 menit, Mas."
            "Kamu pulang sendirian?"
            "Saudaraku menjemputku kok."
            "Lha, sekarang saudaramu dimana, Dek?"
            "Yang parkir disana, Xtrail hitam, itu saudaraku."
            "Jadi, sejak tadi dia...."
            "Memerhatikan kita."
            "Hahahaha, lucu banget e kamu, Dek. Yasudah, aku antar kamu sampai mobil ya?"
            "Enggak usah, Mas. Udah sore, ibumu pasti sendirian di rumah. Pulanglah." Aku membujuknya agar segara pulang, ia manggut nurut. Lalu kami saling bersalaman, aku meninggalkannya, tapi beberapa detik kemudian dia memanggilku dengan lantang, "Dek!"
            Aku berbalik lalu menatapnya, "Iya, Mas?" Tanyaku singkat lalu Senja menghampiriku.
            "Kamu pulang ke Jakarta tanggal berapa?"
            "Sabtu, 3 September. Kenapa, Mas?"
            "Punya waktu jalan? Ke pantai mungkin? Makan burger? Atau sekedar keliling-keliling Yogya saja?"
            "Oh, ada kok, Mas. Bareng sama saudaraku ya, kan enak tuh."
            "Cukup kita berdua saja, Dek."
            "Naik motor, Mas?"
            "Iya, mosok naik gerobak angkringan to yo, Dek"
            "Hah? Kan panas, Mas!"
            "Lha kamu gimana mau rasain udara Yogya kalau cuma duduk kaku di mobil? Sekali-kali naik motor to yo!"
            "Enggak. Aku enggak mau kalau kita cuma jalan berdua. Itu asing buatku, aku enggak pernah jalan berdua sama lawan jenis. Mungkin, kamu bakal tertawa mendengar ini, tapi serius, aku enggak terlalu tertarik jalan cuma berdua." Penjelasanku panjang lebar sepertinya mulai menyudutkannya, "Datanglah ke rumah simbahku, Prawirotaman. Disana ada banyak keluargaku, kita enggak cuma berdua. Yang penting kan apa yang kita perbincangkan, Mas bukan dimana kita menciptakan perbincangan itu."
            "Baiklah! Text me! Hati-hati di jalan ya!" Ungkapan setuju keluar dari bibirnya, aku meninggalkanya, lalu melambaikan tangan.
***
            "Rumah simbahku di dekat pabrik batik Winotosastro, kalau kamu tidak tahu tempatnya, kamu cukup berhenti di depan pasar Prawirotaman, nanti aku menjemputmu disana, menunjukkan arah menuju rumah simbahku." Penjelasanku kala itu mengisi inbox handphonenya.
                "Oke, Dek. Sampai ketemu ya, aku enggak sabar dikenalkan dengan simbahmu, apalagi keluargamu!"
                "Jangan kepedean, aku belum tentu mengenalkanmu pada keluargaku. Slow down lah!"
                "Haha teko santai to, Dek. Cuma becanda to yo!"
                "Oke, selamat malam, segera tidur ya, jangan tidur terlalu larut!"
                "Kamu juga, Dek. Smoches!" Percakapan kecil yang tercipta melalui pesan singkat itu berakhir. Hanya tinggal menunggu tanggal "mainnya" saja.
***
                Mama mengajakku kesana kemari, membeli oleh-oleh, wisata kuliner, dan berpindah dari satu sudut ke sudut lainnya. Yogyakarta yang kala itu ramai dengan plat B benar-benar membuat isi kepalaku berontak. Macet dimana-mana menambah peningnya kepalaku. Aku masih saja sibuk melirik ke arah jam tangan dan jam digital di dekat ac mobil, mencocokkan jam mana yang paling benar dan paling tempat. Padahal, janjiku pada Mas Senja pukul 8 malam sedangkan waktu telah menunjukan pukul 8 lewat 12 menit. Aku hanya bisa menunggu, menunggu sesuatu yang belum pernah terjadi, menunggu sesuatu yang sulit untuk kuprediksi, mengenalkan seorang pria pada keluargaku.
***
                Aku berlari-lari kecil menuju pasar Prawirotaman. Kembali kulihat lagi jam tanganku, pukul 20:35. Kupercepat laju lariku, sesampainya disana sosok kemeja kotak-kotak mencuri pandanganku. Aku menghampiri Mas Senja.
                "Udah lama ya, Mas disini?" Dengan nafas terengah-engah, aku menyapanya terlebih dahulu.
                "Baru 10 menit kok, Dek. Rumah simbahmu dimana e, Dek?"
                "Di sana. Udah kamu ikut aku aja, aku jalan kaki, kamu naik motor."
                "Kamu enggak capek emang?"
                "Enggak, wong deket kok rumah simbahku."
                "Naik motorku aja dek, kubonceng."
                Aku menatap wajahnya yang kala itu disinari lampu redup jalan raya. Suara khasnya beradu merdu dengan lalu-lintas pinggiran kota. Rambutnya yang panjang se-pinggang disembunyikannya dibalik kemeja kotak-kotak itu. Beberapa detik kemudian aku menaiki sepeda motornya. Ini kali pertama aku dibonceng oleh seorang pria. Nafasku memburu satu-persatu, melaju dengan kecepatan maximum. Idiot! Dia pria pertama yang membuat jantungku ingin keluar dari posisi seharusnya, hanya karena aku menduduki jok sepeda motornya, walaupun hanya beberapa detik.
                "Dari sini nyebrang, lurus terus, pas ketemu pabrik batik Winotosastro langsung belok kanan. Beberapa meter dari situ sudah sampai rumah simbahku." Jelasku sayup-sayup ditimpa suara mobil dan sepeda motor yang lalu-lalang disekitar pasar Prawirotaman.
***
                "Dek.. Nganu aku ini loh emhh gini jadi aku...." Ucap Mas Senja terbata-bata.
                "Kenapa, Mas?" Tanyaku singkat sambil memandangnya.
                "Aku grogi, aku cuma bawa martabak cokelat e. Piye iki?" Jawabnya dengan wajah yang memerah, rasanya aku ingin tertawa melihat tingkah lugunya kala itu.
                "Masuklah..." Aku menuntunnya memasuki rumah simbah. Mas Senja menguatkan langkahnya, menegakkan badannya, dan berjalan dengan sangat mantap. Di ruang TV ada keluargaku yang sejak tadi sibuk membicarakanku, dari raut wajah mereka yang menjijikan itu, aku bisa menebak bahwa dalam hati mereka berkata,"Dwita sudah besar, sudah berani memperkenalkan teman lawan jenisnya."
                Uh! Rasanya aku ingin sekali meninju wajah mereka yang menyebalkan itu, mendepak rasa keingintahuan mereka yang terlalu dalam. Padahal, Mas Senja ini kan temanku, ya dia memang lawan jenis tapi dia temanku.
                Di ruang tamu, kami kembali membicarakan banyak hal. Kuliah arsiteknya, universitasnya, gambar konstruksinya, pembuatan maket dan tugasnya, serta banyak hal-hal lain yang kembali membuat kami tak sadar akan desahan jam dinding malam itu.
                Kala itu, dia benar-benar menjadi pemeran utama. Menjadi seseorang yang membuat pandanganku tak mau lepas dari gerak-geriknya. Saat kami sedang bercanda, Mas Senja mengeluarkan rambut panjangnya yang sejak tadi dia sembunyikan dalam kemejanya. Rambut panjang sepinggang yang menjadi kebanggannya sejak SMA. Rambut yang menyebabkan ia mendapat julukan "Michael Jackson". Rambut yang menjadi kebanggaannya, sejak ia bersekolah di sekolah yang beralamat di Laksda Adi Sucipto 161 itu. Rambut yang selalu ia tunjukkan saat mengikuti misa rutin. Dia benar-benar membuatku mengerti arti detak jantung tak beraturan saat duduk berhadapan dengan seseorang yang begitu menyenangkan.
                Waktu berjalan dengan begitu cepat, rasanya baru beberapa menit aku duduk dan memandangnya, tapi kala itu waktu telah menunjukkan pukul 21:30. Dia pamit pulang pada keluargaku, aku mengantarnya hingga gang depan.
***
                "Jadi, kamu pulang besok, Dek?" Sambil menuntun sepeda motornya, ia memandangku dan mengajakku bicara.
                "Iya, Mas. Pagi, sekitar jam 9 pagi." Jawabku singkat.
                "Kapan kembali ke Yogya?"
                "Aku enggak tahu, Mas. Yang jelas aku sangat ingin kembali kesini lagi."
                Langkahnya terhenti, aku yang berjalan juga ikut menghentikan langkahku
                "Oh, iya! Aku mau kasih kamu sesuatu," Dia membuka resleting tasnya, aku menatapnya penasaran. "Nih! Gara-gara ini nih aku telat beberapa menit. Belinya di tempat yang kemarin, ternyata kalau malam toko bunganya masih buka."
                "Mas, makasih ya bunganya. Bagus." Dengan wajah tersipu malu, aku mencium bunga yang baru saja Mas Senja Berikan. Bunga kedua dan kedua kalinya aku tersipu malu karena benda sederhana ini.
                "Aku pasti akan sangat merindukanmu, Dek." Tungkas Mas Senja sambil melanjutkan langkahnya lagi.
                "Aku juga, Mas. Aku mulai tahu menyiksanya rindu sejak kamu mengagetkanku di Stadion Mandala Krida itu." Jawabku seadanya, aku yang sejak tadi menahan rasa gengsi akhirnya menyerah juga. Aku berkata rindu, isyarat perasaanku mulai tumbuh menjadi sesuatu yang tak kutahu.
                "Mau berjanji untuk segera kembali? Mau berjanji untuk tetap menghubungiku walau kita jauh?"
                "Secepat yang aku bisa, aku pasti kembali, Mas. Dan, saat aku kembali ke daerah istimewa ini, aku tak lagi sebagai siswi tapi sebagai mahasiswi. Doakan ya!"
                "Aku selalu membawa namamu dalam doa, Dek. Bahkan sebelum kita bertemu."
                Dadaku terasa begitu sesak, rasanya aku benar-benar tak ingin meninggalkan Yogyakarta secepat itu. Aku masih ingin tinggal, untuk beberapa bulan, untuk beberapa tahun, dan kalau bisa selamanya. Aku masih ingin menginjakkan kakiku di Yogya. Aku masih ingin melihat dan memerhatikan Mas Senja dengan senyum dan tawa khasnya.
***
                Sesampainya di ujung gang, dia mulai menyalakan sepeda motornya. Sekali lagi dia menatapku, mataku yang mulai memerah, suaraku yang mulai serak. Dia membelai rambutku pelan, "Kenapa, Dek?"
                Aku berusaha sekuat mungkin menatapnya, aku berusaha sekuat mungkin menahan air mataku, "Enggak apa-apa, Mas."
                "Wanita itu kalau bilang enggak apa-apa pasti sebenarnya ada apa-apa."
                "Aku...." Ucapku pelan, tatapan kami melekat erat.
                "Yasudah. Janji sama aku, enggak pakai air mata."
                "Iya, Mas."
                "Cepat kembali. Yogya itu bukan tempat kamu untuk singgah, tapi Yogya adalah tempat kamu untuk pulang."
                "Aku enggak akan singgah di Yogya, Mas. Aku akan pulang ke Yogya."
                "Sekarang aku yang harus pulang. Yang jelas kamu tahu kan perasaanku, Dek? Seorang pria yang memberi bunga pada seorang wanita dengan tatapan yang berbeda, bernama cinta."
                Aku melengkungkan senyum, ia membalas senyumku dengan tatapan yang sama. Aku melepaskan kalung salib yang melilit lembut di leherku dan memindahkan kalung salib itu di lehernya, melilit sempurna di lehernya.
                "Kamu tahu kan perasaanku, Mas? Seorang wanita yang memberikan kalung salib pada seorang pria dengan tatapan hangat, bernama cinta."
                Matanya menjatuhkan butir-butir halus dan hangat, pipinya basah oleh gerimis yang pelan-pelan jatuh dari pelupuk matanya. Aku meremas pundaknya,"Tanpa air mata, Mas."
                "Iya, Dek. Jalan dulu ya."
                "Iya, Mas. Hati-hati ya."
                Dia melaju dengan kecepatan standar. Aku memandang punggungnya dari kejauhan hingga punggungnya menghilang dari pandangan mata. Sambil memandang bunga pemberiannya, pipiku terasa hangat, basah tanpa desah, oleh air mata.

19 comments:

  1. wahh, ada lanjutannya,
    for all, cool!
    ditunggu part III nya kalo ada :D

    ReplyDelete
  2. Demi apaaa latar ceritanya Yogyaaa :( Bagus bangeet!!

    ReplyDelete
  3. Masih ada part selanjutnya nggak nih ?

    ReplyDelete
  4. Di tunggu part 3-nya ya ka Dwita. :D
    Pembaca setiamuuuu. :D

    ReplyDelete
  5. so sweeeeeeet bikin nangis kakak :"(
    part III nya ditunggu...

    ReplyDelete
  6. huaaaaa,,.. jdi ikut terharu

    ReplyDelete
  7. senasib :'( persis sama, cuma latarnya aja yg beda :) di tunggu part ketiganya ya :*

    ReplyDelete
  8. ya allah sampe nangis haru aku bacanya :') great job sista! salam kenal :))

    ReplyDelete
  9. isssh :'))) sederhana namun menghanyutkan

    Kamu hebat, Dwita. :)

    aku tunggu part 3 nya yaaa

    ReplyDelete
  10. suka, :-*
    ampe nangis gini, huhu..
    ceritanya sama kyak aku dulu, Jogja juga. :')))
    hemm.. makin rindu suasana Jogja.. dan seseorang yang ada disana..

    ReplyDelete