Aku tidak bermaksud untuk mengusikmu ataupun mengganggu
rutinitasmu. Seperti hal-hal sederhana yang selalu kamu ceritakan padaku. Kamu selau
sibuk mengurus putera altar di gerejamu, lalu membagi waktumu untuk belajar di
kampus, kemudian dalam langkah gontai kamu memasuki rumah, senyummu yang
tersisa masih kautunjukkan untuk keluarga tercinta. Padahal, aku yakin otakmu masih
terbagi untuk teater dan liturgi misa. Aku kagum padamu. Si sulung yang
berusaha jadi segalanya untuk keluarganya. Pria dengan senyum memukau yang
menyediakan waktunya untuk orang yang ia cintai. Satu hal yang selalu membuatku
terharu, bahkan dalam kesibukanmu, kamu selalu merapal namaku dalam doa.
Jadi, apa kabarmu hari ini? Setelah sekian lama kita tak
saling berkabar, nampaknya ada banyak yang berubah, dan mungkin saja ada banyak
hal baru yang tidak kuketahui. Tapi, aku berharap agar dirimu tak pernah
berubah, meskipun kita memang tak terlalu sering bertatapan mata. Kalau mengingat
pertemuan awal kita, aku jadi ingat shelter De Britto. Ternyata, butuh perjuangan
keras hanya untuk menatap matamu. Sekaligus merayakan lebaran di sana, kita
menyempatkan diri untuk bertemu, ingat berapa menit? Sekitar 10 menit, dan
selama rentan waktu itu, debaran jantungku mengamit resah. Semua perasaan tolol
itu terjadi hanya karena aku menatap matamu. Dan... sepertinya ada pergolakan
berbeda dalam tubuhmu, kamu seperti patung es yang enggan meleleh, dingin tapi
kokoh. Kamu fantastis! Sepuluh menit penuh magis!
Aku dan kamu selalu menyakinkan diri kita masing-masing, bahwa
ini bukan cinta. Kita selalu yakin kalau ini bukan cinta, bukankah kita hanya
teman yang saling menguatkan satu sama lain? Bukankah semua kebersamaan nyata
dan maya ini adalah wujud perhatian sederhana? Tapi... ternyata ada pergerakan
di hati yang lajunya tak kita sadari. Memang tak ada candu, tapi kita tak mampu
saling menyangkal diri kalau ada sosok nyata yang disebut rindu. Tak ada
panggilan sayang ataupun sepotong percakapan yang dilakukan secara intensif,
tapi hal itu tak menghalangi kita untuk saling mendoakan. Mungkin, inilah
definisi perhatian yang sebenarnya. Tak perlu dilebih-lebihkan, tak perlu
terlalu ditunjukan. Perhatian menunjukkan tubuhnya sendiri, walau tak terikat
status, walau terpisah jarak ratusan kilometer.
Ceritakan padaku tentang rencana masa depanmu. Kita terlalu
jarang berbicara tentang itu. Ceritakan padaku tentang apa yang selama ini kamu
rasakan. Aku dan kamu selalu takut untuk mengetahui kenyataan. Di sinilah batas keteguhan hati kita diuji,
seberapa besar kekuatan doamu dan doaku saling menyentuh dan menghangatkan satu
sama lain. Inilah kerterbatasan kita sebagai manusia yang tidak utuh. Walau tak
ada tatapan mata, tapi hati terus berkata-kata. Selama ini kita terlalu rela
dibunuh oleh jarak. Selama ini kita terlalu rapuh dipermainkan oleh waktu. Akankah
ini saatnya untuk menyadarkan diri? Bahwa tak ada apa-apa di antara kita. Bahwa
tak ada kembang api atau kupu-kupu yang menari indah di dalam perut kita.
Namun... semakin aku memaksakan diri untuk mengetahui,
semakin aku merasa tak mengerti. Ada semesta rumit yang mengorbit dalam
peredaran napas kita. Tercipta semacam negeri antah berantah yang menjadikan
kita sebagai penduduk yang hidup di dalamnya. Aku kebingungan, mungkin juga
kamu. Apakah setiap kali seorang pria menyentuh tatapan mata seorang wanita,
selalu tercipta negeri berbeda di dalamnya? Seperti kita...
Ah... bagaimanapun rumitnya permasalahan kita, aku dan kamu
tetap saja senang menyangkal diri. Kita belum siap direpotkan oleh perasaan
aneh yang meletup-letup walau dalam kebisuannya itu. Aku dan kamu masih menikmati
masa-masa ini. Kita masih ingin Tuhan merahasikan rencanaNya. Bukankah aku dan
kamu senang pada hal-hal yang tak pasti? Iya... seperti apa yang kita jalani
selama ini, karena sesuatu yang tak pasti menyembunyikan banyak tantangan
tersendiri.
Masih banyak perasaan yang bergenderang namun tak terdengar
oleh telinga kita. Masih banyak mimpi yang belum kita capai. Salah satunya,
seperti yang dulu kita bicarakan.
Suatu saat aku dan kamu akan bertemu lagi. Rembulan di
langit Jogjakarta, di bawah sinaran lampu templok dan lilin yang meredup. Di
sebuah angkringan yang tak terlalu ramai, hanya terdengar deru kendaraan
bermotor yang sesekali melintas, lalu desah napasku dan desah napasmu memburu
dalam kesunyian. Mata minusmu terlihat bening di balik kacamata yang kamu
pakai. Kala itu... kamu begitu memesona.
dari...
entah harus disebut siapa
yang jelas
aku selalu mendoakan kebahagiaanmu
suaranya bagus yaa. . love to hear your voice. .
ReplyDeleteI don't know how you look. have you any pic?
dalam sepi dalam mimpi....
ReplyDeleteaku dapat merasakan keberadaamu....
gue banget ini :')
ReplyDeletegue banget :') copas sebagian boleh ya :')
ReplyDeletegue banget kak :') ijin kopas sebagian ya :')
ReplyDeletewaaaa :'))))))
ReplyDelete