Kamu menjabat tanganku dengan
erat dan menatap mataku dengan pandangan pekat, seakan kaumerindukan dunia yang
sejak dulu ingin kauselami. Dengan balutan jas hitam, celana bahan hitam,
sepatu hitam; kautampak sangat formal sore itu. Aku menyambut genggaman
tanganmu dengan senyum yang sama lebarnya dengan senyummu, kutatap matamu
dalam-dalam, sinar terang yang kulihat beberapa minggu yang lalu, kembali
terlihat lagi. Sebenarnya bibirku sudah ingin berucap sejak tadi. Aku
merindukanmu dan bertahan beberapa minggu untuk menunggu pertemuan kali ini pun
terasa amat menyakitkan. Kita bertahan dalam percakapan terbatas, hanya tulisan
yang teretas. Seandainya kaupaham, ini bukan perasaan sederhana, sesederhana yang
dulu pernah kaubilang; sebatas teman kerja.
Lewat pesan singkat tadi, aku
sudah bilang ingin duduk di sampingmu. Tanpa pikir panjang, kamu menyetujui hal
itu. Pikirmu, mungkin, aku ingin bertanya banyak soal kerjaan kita, soal tugas
kita, dan soal rencana kita ke depan. Namun, tahukah kamu, alasanku mengajakmu
duduk di sampingku hanya karena aku merindukanmu dan ingin melihat bola matamu
lama-lama, tanpa dibatasi jarak, tanpa gangguan terangnya lampu, dan tanpa
digugat oleh kehadiran orang lain? Alasan yang absurd memang, tapi sejujurnya
itulah yang kuinginkan.
Teman, rasanya sakit sekali
jika hingga detik ini aku hanya bisa menganggapku sekadar teman kerja. Rasanya
perih sekali apabila sampai saat ini aku cuma mampu jadi pendampingmu dalam
mengejar mimpi, namun hanya sebagai teman kerja, bukan kekasih. Dan,
keinginanku pun terwujud walaupun aku harus menunggu beberapa waktu hanya untuk
duduk di sampingmu. Kita duduk di tribun atas, ramai namun tak seribut di
lantai bawah.
Saat semua mata hanya tertuju
pada panggung, saat musik berdegup kencang, saat suasana mulai gelap tapi lampu
sorot warna-warni di dekat panggung sibuk berkelap-kelip; aku merangkulmu
dengan rapat. Entah karena kekuatan apa, kamu menggeser posisi dudukmu, lebih
rapat ke arahku. Kamu seakan paham kalau aku butuhkan kehangatan darimu. Dirimu
seakan mengerti, aku merindukan sentuhan yang berasal dari dekapanmu. Aku tak
tahu perasaan ini patut dinamakan apa, tapi kita saling mengerti bahwa dalam
kesepian hati, kaudan aku mampu saling mengobati.
Status kita memang hanya
sebatas teman kerja, namun kautahu; aku rasakan sesuatu yang lebih dari itu.
Sebenarnya, aku pun tahu kamu ingin semua tak hanya sekadar rekan kerja, kamu
juga ingin yang lebih bukan? Kemesraan di pesan singkat cukup membuatku
mengerti isi hatimu. Tapi, aku dan kamu belum siap ke tahap itu. Cukuplah kita jadi
rekan kerja, yang bertemu sebulan sekali untuk mempererat rencana kita. Jarak
yang sangat kurang ajar antara Jakarta dan Bandung bisa mengganggu pekerjaan
kita, apa enaknya digerogoti rindu sementara pekerjaan kita sudah super duper
ribet seperti ini?
Rangkulanku pun bervariasi.
Kadang, kugenggam jemarimu, kusandarkan kepalaku di bahumu, kubelai rambutmu
hingga ke belakang lehermu, dan kurapatkan rangkulanku sambil memegang
pinggangmu. Tapi, kamu ini memang dasar pecinta kerjaan, bahkan saat kepalaku
bersandar di bahumu pun, kamu masih sempat-sempatnya bercerita tentang rencana
kita ke depannya. Iya, kauberikan aku ruang untuk bermanja-manja tapi ceritamu
tetap sama; perihal kerjaan. Inilah yang kusuka, ketika kauberbisik di
telingaku saat suasana terlalu riuh oleh musik yang berdegup. Tahukah kamu saat
itu aku merasa kita seperti.... sepasang kekasih. Ah, andai itu terjadi!
Aku masih menyandarkan
kepalaku di bahumu, lalu sebuah panggilan masuk ke ponselmu. Kamu menjawab
panggilan itu dengan suara lembut, selembut ketika kamu berbicara denganku.
Masih dengan genggaman tanganmu yang berada di jemariku, kamu mengakhiri
percakapan di ponsel dengan kalimat, "Aku pulang agak malam. Iya, aku juga
sayang kamu."
Ucapanmu terakhir itu
membuatku tersenyum miris. Aku menatap matamu dan mengajakmu bicara. Jarak
antara wajah kita hanya beberapa sentimeter, kutatap matamu yang bening itu,
juga wajahmu yang terlihat lebih tampan dalam keremangan. Mungkinkah kaurasakan
degup jantungku kala itu? Degup jantung yang bilang bahwa ada perempuan yang
takut pada jam-jam yang mendekati malam, jam-jam yang menunjukkan perpisahan. Dan,
mimpinya akan segera berakhir, seperti Cinderella yang takut pada dentang jam
tengah malam, seperti itu juga aku takut pada jam menuju adzan magrib.
Saat-saat mendekati perpisahan kita, saat-saat acara seminar yang kita datangi
harus berakhir. Lantas, aku harus kembali ke dunia nyata, harus kehilangan kamu
lagi, dan kembali bergelut dengan kesibukan serta pekerjaan.
Sebelum lampu yang sangat
terang dinyalakan, aku mendekapmu lebih erat. Tanpa kuberitahu pun, tentu
kaupaham aku tak ingin kehilangan kamu, aku tak ingin menunggu waktu sebulan
lagi untuk bertemu kamu. Aku ingin merangkulmu sehangat ini setiap hari, bahkan
setiap saat kalau Tuhan izinkan aku menguasai waktu. Seminar usai dan
lampu-lampu segera dinyalakan, kita tak mampu lagi berdrama, aku terhempas dari
dunia mimpiku. Rekan-rekan kerja kita yang lain langsung mendekati kita,
mengajak bicara tentang strategi dan rencana baru. Kamu kembali menjauh, jadi
orang lain yang tak kukenali. Kamu dengan rekanmu, aku dengan rekanku, dan
hanya mata kita yang sesekali bertemu; mengucap sesuatu entah apa itu.
Di akhir pertemuan, kita
bersalaman. Berkali-kali kautanyakan apakah aku ingin cepat pulang? Aku tak
mengangguk juga tak menggeleng, aku hanya menyentuh bahumu lama, menggenggam
tanganmu sangat erat, dan menatap matamu sangat dalam. Aku tak ingin kita pisah
lagi, aku tak ingin percakapan kita dibatasi tulisan lagi. Kamu memberi isyarat
terima kasih atas kedatanganku hari itu, kusambut isyarat itu dengan ucapan,
"Semoga bisa segera bertemu lagi."
Senyum itu mengembang tak
selebar ketika awal kutemui kamu. Kamu menatap pria yang sudah menggenggam erat
tanganku, dari eratnya genggaman tangan itu, kamu sudah bisa menilai; pria ini
hanya ingin agar aku cepat pulang. Kamu ularkan tanganmu untuk bersalaman
dengan pria di sampingku, "Pacar kamu semangat banget kerjanya." ucapmu
dengan tawa yang kedengarannya dipaksakan.
Aku meninggalkanmu dan
kulambaikan tangan sekali lagi sebelum kamu benar-benar jauh. Kamu tak
menatapku, matamu malah menatap jemariku yang digenggam erat pria di sampingku.
Lalu, beberapa detik setelahnya, kaumenatapku lagi, tersenyum penuh arti;
seakan kauberbisik dengan sangat lirih.... jangan pergi.
Aroma tubuhmu sangat
memabukan. Kapan kita bisa bertemu lagi? Tolong, secepatnya!
Untuk kamu yang pernah bilang
nangis tak akan menyelesaikan apapun.
Selamat bekerja!
Kamu tak menatapku, matamu malah menatap jemariku yang digenggam erat pria di sampingku. Lalu, beberapa detik setelahnya, kaumenatapku lagi, tersenyum penuh arti; seakan kauberbisik dengan sangat lirih.... jangan pergi
ReplyDeleteYaelah brooo
Feel nya kerasa bgt itu :|
nice.. terus berkarya y... :)
ReplyDeletesedih banget digituin .... btw, baru baca ada si lelaki yang merangkul jemarinya itu....
ReplyDeletesayangnya diriku sudah bukan ABG lagi...
ReplyDeletekok kalo nulis bisa dapet gitu sih feelnya:')
ReplyDeleteCiao
ReplyDeletepas banget itu kak (y)
ReplyDeletepos nya pas banget kak
ReplyDeleteKereeen
ReplyDeleteKeep Posting non
ReplyDeletemb dwitasari,ceritanya mirip banget sama kisah percintaan saya T_T,kereeennnnnnn
ReplyDeleteSemangat nulisnya kak dwita, :)
ReplyDeletesemangat nulisnya kak dwita :)
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletewahhh makin keren tulisan nya...
ReplyDeleteWah, bagus banget tulisannya. tapi sayang blog ini tak bisa di copy,
ReplyDeletetapi bagus jg tidak ada yang plagiat nantinya. hehe
indah sekali,,,,
ReplyDeleteMbak tlng kasih tau gmana cara bikin blok seperti ini?. Aku pun punya kisah yang mau aku tulis bwt seseorang yg aku cintai tetapi ia pergi entah di mana rimbanya aku pingin nulis suara kerinduan ku padanyA. TKS sebelumnya... sukses selalu buat sampeyan.
ReplyDeletetetap semangat....
ReplyDeletesemangat :)
ReplyDeleteOh Dwitasari..ini cerita gue banget rasanyaa :'
ReplyDeleteFeelnya dpt
ReplyDeleteduh.................
ReplyDelete