28 April 2015

Tiga Hari Tanpamu

#SerialTanpamu

Baca Sebelumnya: Dua hari tanpamu

Ini tidak pernah semudah yang aku bayangkan. Tiga hari tanpamu rasanya masih seneraka ketika pertama kali kamu bilang ingin mengakhiri semua. Hingga detik ini, aku masih belum bisa menerima kepergianmu yang tiba-tiba. Yang masih bisa aku lakukan sampai saat ini hanyalah berdoa, berharap semua luka ini segera berakhir dan aku bisa menjalani hidupku senormal dulu lagi.

Aku masih rajin memeriksa ponselku, berharap masih ada sisa perhatianmu untukku, berharap kamu menyapaku dan menghubungiku lebih dulu. Nyatanya, hanya anganku saja yang menetap, kamu tidak mengabariku, dan aku sudah bisa menebak bahwa mungkin saat ini kamu tidak merasakan yang aku rasakan. Tiga hari ini, aku masih merasa semua berantakan dan kalut. Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana hidupku, yang jelas aku remuk. Aku di sini seperti orang yang kehilangan arah dan tak tahu ingin melangkah ke mana. Kamu terlanjur mengajakku melangkah terlalu jauh hingga aku lupa cara untuk berbalik ke arah yang seharusnya sejak dahulu aku tuju-- dan tak perlu mengikutimu.

Aku tak tahu apa daya magismu hingga apapun yang aku lihat dan aku rasa selalu tertuju padamu. Sebelum senja tiba, aku duduk di dekat danau UI, merasakan embusan angin dan menatap tenangnya air danau. Aku tak pernah merasa sesedih ini, perasaan ini membuat aku selalu ingin menyendiri, dan saat aku sendiri seringkali juga aku memikirkanmu. Hanya dentingan lembut sepeda kuning yang terdengar, aku masih terdiam dan tak bersuara. Dari pinggir Danau UI, bisa kulihat bangunan baru yang megah di dekat Stasiun Pondok Cina, di sanalah kampusmu, dan mungkin saat itu kamu sedang di sana, entah melakukan apa. Tapi, hidupmu sekarang pasti tak seburuk dan seberantakan hidupku yang sekarang. Aku tahu kamu tentu dengan mudah bisa melupakanku, kamu bisa kembali normal menjalankan hidupmu, dan kamu pasti tak merasa kehilangan apapun.

Sore tadi, aku menghabiskan waktu sendirian di dekat Danau UI, hingga azan magrib menyapa; aku memutuskan untuk pulang. Aku berjalan pelan-pelan, menahan air mata agar tidak jatuh perlahan. Sampai duduk di kendaraan umum, aku hanya menatap jalanan yang dulu sering kita lewati. Tiba-tiba aku benci seluruh sudut kota ini. Jalanan masih begitu macet. Dulu, kita menunggu kemacetan usai sampil bercanda. Kamu bercerita dengan dialek Bengkulu Melayu yang selalu berhasil membuatku tertawa geli. Aku benci semua lampu merah yang aku lewati. Aku jadi ingat setiap detik saat menunggu lampu hijau, aku memijati tubuhmu, dan kamu memegangi tanganku dengan lembut. Aku benci apapun tentang kota ini, aku benci setiap sudut jalan yang selalu membuatku mengingatmu.

Aku sebenarnya heran dengan diriku sendiri. Aku duduk di angkutan umum, bukan di sepeda motormu yang knalpotnya berisik tak karuan, tapi masih tetap bisa membuatku nyaman ketika aku memelukmu dari belakang. Rasanya semua berbeda dan aneh. Aku tidak mendengar suara berisik dari knalpot sepeda motormu, yang aku dengar hanya klakson kendaraan bermotor yang berlomba melewati jalan dengan cepat. Aku tidak duduk di motor gedemu, yang tingginya mungkin hampir satu meter. Aku malah duduk di angkutan umum dan tidak memeluk siapapun. Aku harus terbiasa dengan seluruh keanehan ini, dengan hal-hal yang harus aku lewati tanpamu.

Turun dari angkutan umum, ojeg mengantarku dari depan gang hingga masuk perumahan. Polisi tidur di jalanan perumahan terlewati dengan sangat mulus, padahal dulu, ketika masih bersamamu, aku harus memelukmu kuat-kuat agar tidak membuat sepada motormu berguncang hebat. Kenangan sederhana yang belum aku lupakan, setiap inci tentangmu selalu penting di mataku. Sesampainya di depan rumah, aku turun dan membayar ongkos, langsung kubuka pagar rumah, kemudian berjalan memasuki rumahku. Ah, padahal beberapa minggu yang lalu, aku masih ingat kamu menyisakan sedikit saja waktu untuk sekadar mencium kening dan pipiku, mencuri pelukan, kemudian pamit pulang. Aku pun tak langsung masuk rumah, aku menatapmu yang pergi, membiarkan punggungmu menghilang dari pandangan, dan baru tenang memasuki rumah. Aku rindu hal-hal sederhana itu, yang mungkin tak penting bagimu, tetapi sungguh melekat bagiku.

Sudah beberapa hari ini, tak aku dengar suara berisik dari knalpot sepeda motormu. Seringkali ketika sedang sunyi menyelesaikan tulisan, samar-samar kudengar ada suara knalpot yang mirip dengan suara sepeda motormu. Kutahu itu bukan kamu walaupun jauh di lubuk hati terdalam, aku sangat ingin bisa bertemu denganmu lagi, meskipun hanya sesaat. Sekarang, aku merasa seperti orang bodoh yang tetap memencet ban ketika tahu ban itu sudah kempes. Aku masih menatap ponselku, padahal aku tahu kamu tak akan pernah sms. 

Aku masih sering menunggu di depan rumah, berharap bisa mendengar sepeda motormu yang berknalpot berisik itu. Aku masih sering tiba-tiba keluar rumah dan berdiam di depan pagar, berharap masih bisa menyaksikan punggungmu yang pergi menjauh, menatap sepeda motormu yang meninggalkan rumahku-- untuk terakhir kalinya.


Dari sosok yang mungkin hanya kamu anggap adik,
yang selalu merasa tidak pernah mampu membahagiakanmu.


10 comments: