Aku menghela napas, aku
merasa bebas. Ternyata, aku bisa hidup tanpamu selama sebelas minggu. Aku masih
(terlihat) baik-baik saja meskipun kamu tak lagi sering memberitahu kabarmu.
Tapi, tidak munafik jika dalam rentan waktu tanpamu, aku masih sering merindukanmu.
Kamu masih menjadi yang
penting di kepalaku. Kamu masih menggenggam hatiku. Dan, betapa aku masih
sangat berusaha untuk memungkiri kenyataan itu. Aku sedang berupaya lepas
darimu. Sudah sebelas minggu, ketika kamu melambaikan tangan dengan tatapan
hangat di dekat perpustakaan universitas kita, tempat aku dan kamu menimba
ilmu. Sudah hampir tiga bulan berlalu, ketika genggaman jemarimu terasa masih
begitu hangat di jemariku. Sekali lagi, aku menghela napas, berharap kenangan
kita tak lagi membuatku merasa perih, yang masih belum bisa kuterima; mengapa
kaupergi saat aku sedang cinta-cintanya?
Aku sudah bercerita
padamu tentang posisi favoritku di perpustakaan bukan? Tempat aku dan kamu
sempat menjadi yang paling bahagia karena sama-sama tahu kita sedang jatuh
cinta. Sekarang, ketika duduk di tempat itu sendirian, aku punya kebiasaan yang
aneh. Mataku nanar menatap bangku yang kosong di sampingku. Kamu ingat? Sebelas
minggu yang lalu, kamu masih duduk di situ; tepat di sampingku. Sambil membelai
rambutku yang diikat satu, jemarimu yang lain membaca materi presentasi di tab-mu.
Kita tertawa
terbahak-bahak saat itu, Sayang. Tawa yang kurasakan begitu manis dan
menghangatkan hatiku. Tawa yang kukira akan selalu kita rasakan dan kita lewati
bersama. Sambil menuntun kepalaku agar bersandar di bahumu, kamu mulai mengeluh
saat itu. Mencibir betapa sulitnya presentasi esok hari, aku hanya menjawab
keluhanmu dengan rangkulan seadanya. Presentasi mengenai siklus haid wanita cukup
membuat kepalamu berputar.
Saat itu, aku memang
tak bisa membantu dalam banyak hal. Sebagai perempuan yang pernah mengenyam
pendidikan SMA di ranah anak IPA, aku sedikit tahu mengenai bahasan
presentasimu. Lalu, dengan gaya sok tahu, aku menjelaskan semua yang kutahu,
kamu menatapku dan menyimak setiap perkataanku. Ah, Sayang, setiap mengingat
peristiwa itu, rasanya aku ingin semua terulang. Rasanya aku ingin kamu kembali
hadir di depan mataku. Rasanya, aku ingin kamu kembali nyata dalam duniaku, tak
hanya hadir dalam bisikan doaku.
Mengenai percakapan
singkat yang tercipta dua hari yang lalu, cukup mampu mengobati rindu. Kita
bercakap-cakap dengan sederhana, dengan luka yang begitu cerdas kusembunyikan.
Dengan panggilan yang tak lagi "Aku" dan "Kamu", aku
merasakan jurang yang selama ini telah menjauhkan kita. Aku sadar betapa selama
sebelas minggu ini kita sudah terlalu berjarak.
Seperti biasa, kamu
selalu terlihat bahagia dan baik-baik saja. Seperti biasa, aku (berusaha keras)
terlihat bahagia juga baik-baik saja. Aku tak tahu apakah selama ini kamu juga
merasakan yang kurasakan. Aku juga tak tahu apakah kamu merasakan rindu sedalam
yang kurasakan. Kita saling tak tahu, seperti aku yang tak pernah tahu
bagaimana sesungguhnya perasaanmu.
Dulu, aku sempat
melihat cinta di matamu, Sayang. Aku melihat dunia yang sungguh belum pernah
kusinggahi, aku terjebak dalam bayang-bayangmu; dan aku tak mampu lagi
menghindar pergi. Aku berhenti pada sosokmu, sementara ketika aku mulai ingin
membangun segalanya bersamamu, kamu malah memilih pergi. Kamu sudah bawa aku
berjalan terlalu jauh, aku percaya bahwa kamu akan menemaniku sampai perjalanan
kita selesai, tapi ternyata kamu tidak menemaniku.
Cahaya Penunjukku, kamu
ingin jujur mengenai perasaanmu? Kamu ingin beritahu aku tentang apa yang
kaurasakan selama masih bersamaku? Sayang, ini memang salahku, selama kita
bersama, aku tak meminta dan mengemis status. Aku hanya menjalani yang
kuyakini, aku merasa baik-baik saja meskipun segalanya kita arungi tanpa
kejelasan. Lantas, aku menyesali semua, ketika kamu pergi— aku tak dapat
menahanmu tetap di sini.
Sayang, sebelas minggu
setelah kepergianmu, nyatanya memang tak banyak berubah. Aku masih mencari-cari
kabarmu, masih berharap kita bisa kembali seperti dulu, dan masih berharap
bahwa Tuhan mengizinkan waktu kembali diputar ulang. Seandainya kamu tahu
seberapa dalam lukaku, seandainya kamu paham seberapa besar rinduku, dan
seandainya kamu mencintaiku sedalam aku mencintaimu; pasti tak akan ada rasa
trauma seperti ini.
Untuk Cahaya Penunjukku
yang telah pergi, bisakah kuminta kamu segera kembali?
Everything gonna be allright
ReplyDeletehadirr
ReplyDeletemenyentuh banget:'(
ReplyDeleteSedihhh :') jadi inget kenangan dulu sm mantan tersayang :'(
ReplyDeleteSangat menyentuh. Dan bener" buat aku sebagai pembaca ingin lebih tau kehidupan mu sesuhguhnya, apa yang engkau tulis ini, seakan" benar apa adanya, seakan" pernah engkau jalani.
ReplyDeleteTapi sayang aku tak tahu banyak tentangmu, kamu begitu misterius, dengan note diatas "Tidak semua yang saya tulis adalah saya. Tidak semua yang kamu baca adalah kamu".
Seperti nyata. Semua tulisanmu sangat nyata.
ReplyDeletekaaakkk ini aku banget ka :( bedanya dia udah pergi hampir setahun gaada kabar:(
ReplyDeletewow :')
ReplyDeletehampirrrrrrrr...
ReplyDeletepengen juga bisa nulis sprti kakak
ReplyDeletekata katanya bagus bgt kak
ReplyDeleteNetes lg baca ini :'( aku berharap dia masih akan kembali untuk ku
ReplyDeleteNgena banget kak
ReplyDelete