11 May 2014

Aku Menunggumu di Jakarta

Tuan, saya menulis ini ketika pertengkaran kita entah yang telah keberapa kembali meledak lagi. Masalahnya sepele dan selalu sepele, selalu aku yang lebih dulu tersentak dan tersentuh. Aku tak tahan lagi dengan jarak yang menjauhkan kita, dengan rasa sakit yang tidak kaupahami, dengan ribuan hasutan banyak orang agar tidak mempercayaimu, dengan teriakan hati yang masih ragu akan kehadiranmu, dengan kata cinta yang selalu kaubisikkan itu, dengan perbedaan kita, dengan status kita yang serba tak jelas, terakhir; dengan jalan keluar yang tak juga kita temukan.

Aku tak tahu, Sayang, apakah langkah untuk mencurigaimu adalah hal yang benar atau hal yang salah. Mungkin, aku merasa terlalu tolol dan bodoh untukmu, aku merasa kamu terlalu sempurna dan terlalu baik untukku. Lihatlah dirimu. Kamu tampan, muda, punya segalanya, bekerja di pertambangan, dipuja banyak wanita, punya segalanya, punya penggemar, punya kharisma yang menghipnotis setiap wanita. Sedangkan, aku.... siapa aku di matamu, Sayang? Aku ini terlalu kecil, terlalu kedil, aku hanya seorang gadis semester empat, di jurusan kuliah yang banyak orang mengira hanya bisa membuat puisi dan sajak, aku kalah cantik dengan wanita-wanita yang menggilaimu serta memujamu. Aku tetap merasa bukan siapa-siapa meskipun ribuan janji dan kata cinta kamu luapkan padaku.

Aku lelah pada semua khayalan itu. Pada janjimu untuk bertemu, pada bayang semu yang kausuguhkan, pada kata cinta yang mungkin saja bualan, pada ucapan rindu yang masih abu-abu, pada rencana-rencanamu yang mungkin tak kupahami, pada maksud terselubungmu untuk mendekatiku. Kamu masih sangat buram di mataku, kamu menjelma menjadi awan kabut yang begitu sulit tersentuh matahari, kaubangun kemegahanmu sendiri, dan aku nyaman pada segala yang tak pasti, yang kauberikan dengan berani, yang seakan semua terlihat bukanlah sekadar mimpi.

Aku lelah pada setiap percakapan yang hanya bisa kita jalin lewat pesan singkat dan telepon. Aku lelah dengan ceritamu tentang mantan-mantanmu. Aku lelah menerima kenyataan bahwa aku sangat sulit masuk ke dalam duniamu. Aku sengsara mengetahui hal yang sebenarnya bahwa mungkin saja kita tak benar-benar mencintai, mungkin saja aku dan kamu hanya terjebak dalam ketertarikan sesaat, ketertarikan tolol yang selama ini kita deskripsikan sebagai cinta. Aku tak tahu, Sayang, aku sungguh tak tahu apa maksud dan tujuanmu untuk mendekatiku. Masa iya, sih, pria seberlian kamu mau saja dengan gadis tanah liat seperti aku?

Kamu tidak lelah dengan jarak dan perbedaan ini? Dengan amarah dan emosiku yang naik turun setiap kali kita menjalin percakapan di telepon, dengan angkuhnya perbedaan yang membuat kita seakan berjarak, dengan setiap air mata yang terjatuh; air matamu dan air mataku yang tiba-tiba saja terjatuh padahal kita tak pernah bertemu sebelumnya, tak pernah saling menggenggam tangan, tak pernah saling berciuman, tak pernah saling bertatap mata, tak pernah terlihat seperti pasangan normal lainnya.

Di antara semua rasa lelah itu, Sayang, sebenarnya aku menyukai kehadiranmu, dan perkenalan kita selama satu bulan ini benar-benar mengajariku banyak hal. Kamu yang begitu tampan hampir saja mengubah persepsiku bahwa tak semua pria menilai wanita dengan fisik, kamu tidak menuntut segalanya, kamu meluangkan waktumu di antara kesibukanmu, kamu berkata sayang ketika aku butuhkan banyak perhatian, kamu layaknya kakak, kekasih, belahan jiwa. Dan, atas semua dasar perasaan itu; aku semakin takut kehilangan kamu.

Aku takut kebersamaan yang telah membuatku nyaman ini, ternyata hanyalah drama yang kaubuat sedemikian rupa hanya untuk menghancurkan yang selama ini kubangun. Aku takut bahwa semua kata cinta dan janji itu hanyalah kebohongan yang kaulontarkkan karena bisa saja kamu sakit jiwa. Aku takut, sungguh sangat takut memikirkan banyak wanita yang mendekatimu dan memujamu, kamu bisa saja berpaling, menjauh, dan melupakanku ketika aku tak lagi membuatmu penasaran.

Setiap kita bertengkar, kamu selalu membuat suaramu terdengar seperti menangis dan parau. Aku tak tahu apakah benar di ujung pulau sana kaubenar-benar meneteskan air mata yang sungguh-sungguh? Aku tak tahu drama macam apa yang kaumainkan, tapi sekali lagi aku masih berada di tengah-tengah, dalam keadaan sangat mencintaimu tapi di sisi lain sangat ragu padamu, dalam keadaan sangat mencurigaimu tapi masih sangat ingin percaya bahwa semua sungguh nyata dan bukan bualan belaka.

Aku ketakutan, Sayang, namun dalam percakapan telepon tadi, kamu masih meyakinkanku. Kamu, dengan suaramu yang tak terlalu berat itu memintaku bersabar lebih lama lagi. Kamu, pria yang selalu mempercayaiku untuk mendengar segala keluh-kesahmu mengenai pekerjaanmu itu menangis dan memohon, agar aku tak lagi merengek untuk meminta pertemuan nyata. Kamu meyakinkanku, berkali-kali, bahwa pertemuan kita akan terjalin, cepat atau lambat, dan senjatamu selalu itu-itu terus, "Ingat judul bukumu yang keempat, Jodoh Akan Bertemu." Sialan! Gombalan yang berkali-kali kamu ucapakan namun tak membuatku muak.

Malam ini, dalam percakapan kita, kamu bercerita bahwa kamu sengaja pulang lebih cepat dari kilang minyak karena ingin membicarakan banyak hal bersamaku. Waktu kita memang hanya ada saat malam minggu, saat aku dan kamu berusaha tidak menyibukkan diri, dan kita sama-sama berbicara tentang mimpi (yang kita harapkan segera menjadi nyata). Kamu selalu bilang, Senin sampai Jumat, kamu jarang punya waktu untukku, maka di hari Sabtu; kamu seutuhnya milikku. Itu gombalan yang tidak membuatku muntah meskipun berkali-kali kamu ucapkan. Kamu selalu memintaku untuk bersabar menunggu, untuk setia menyimpan rindu, sampai Tuhan mengizinkan kita bertemu.

Kamu selalu memintaku untuk bersabar menunggumu di Jakarta, karena kamu akan pulang, membawa banyak sekali cerita dari pulau tempatmu bekerja, membawa banyak kenyataan yang dulunya hanya bisa kita bicarakan lewat telepon, membawa pelukan, kecupan, rangkulan, dan membalas dendam pada jarak yang selama ini menganggap bahwa kita akan kalah lebih dulu.

Oke, kutunggu kamu di Jakarta. 
Pulanglah lebih cepat.
Saya sekarat.

Saat hujan di kota penghujan
02:44, sehabis berbicara dengamu
di ujung telepon.

5 comments: