20 January 2015

Apakah kita akan bertemu lagi?

Sebelum memulai petualangan, coba baca: Kekasih 18 Jam :)


28 Desember 2014

Aku menghela napas, seusai mengisi seminar di Jogjakarta, aku langsung melangkah ke ruang ganti. Aku bahagia melihat antusias peserta seminarku hari ini. Mereka tangguh, tegar, percaya diri, banyak pertanyaan, penuh keyakinan. Aku melayani pertanyaan mereka, menyambut peluk mereka, dan dengan senang hati menulis kata motivasi di buku yang mereka bawa. Hari ini sungguh sempurna.
Aku mengganti bajuku, menghapus peluh di keningku, dan segera memasuki mobil yang mengantarku pulang bersama panitia. Aku berbincang banyak hal bersama teman-teman baru, mereka adalah orang-orang baik yang menjemputku dari Adi Sucipto, mengantarku ke penginapan, mengantarkanku ke tempat seminar lagi, dan kembali mengantarku ke penginapan. 
Aku melewati Jombor. Tempat kita berpisah tiga tahun lalu dan hari ini adalah tiga tahun peristiwa itu terjadi. Kamu meninggalkanku tanpa lambaian tangan. Kamu pergi tanpa mengucap kata pisah. Bahkan, ketika sampai di Bogor pun, tak kamu munculkan batang hidungmu sama sekali. Kamu menghilang seperti ditelan bumi, tenggelam bersama kenangan-kenangan singkat kita yang sebenarnya masih sangat sulit aku lupakan. Kamu tetap berada di hati dan otakku bahkan ketika tiga tahun berjalan, bahkan ketika bertahun-tahun bumi telah berputar, namun perasaan itu masih ada dan tetap sama.
Mataku terarah pada toko kecil yang menjual makanan dan minuman. Di sana, aku ingat ketika bus kita berhenti. Semenit sebelum bus berhenti, kamu menjamah rambutku sebentar dan langsung turun tanpa mengucapkan apapun. Aku hanya melihat ke kaca jendela dan kamu memalingkan wajah. Di sana, aku cukup sadar, bahwa kamu adalah sosok yang segera akan kulupakan. Namun, aku salah besar. Kamu abadi dan masih di sini, hidup dalam hari-hariku, padahal kalau boleh di bilang harusnya perempuan yang telah beranjak dewasa ini bisa sesegera mungkin melupakanmu. Harusnya, aku bisa segera menenggelamkanmu karena kepadatan kegiatan dan kesibukanmu. Tapi, tuan, kamu berbeda, dan aku suka.
Sesampainya di penginapan, aku membalas semua chat dan sapaan ucapan terima kasih dari peserta seminar tadi. Aku membalas banyak surat elektronik yang berisi curhatan dari para followers-ku di Twitter. Setelah melakukan kegiatan yang hampir setiap hari aku lakukan itu, aku kembali melanjutkan adegan-adegan novelku yang harus segera aku selesaikan. Untuk mengistirahatkan mata, aku mengambil air putih sebentar dan meletakan gelas tersebut di samping meja kerjaku. 
Udara Jogjakarta malam ini membawa aku dalam ingatan-ingatan yang harusnya aku lupakan. Kamu hadir dalam pikiranku, entah bagaimana caranya padahal kamu sudah hampir terhapus dari memoriku. Aku tahu ini tolol, sudah tiga tahun kamu menghilang dan tak ada kabar, tapi mengapa kamu masih berdiam di otakku? Mengapa kamu masih saja punya tempat di hatiku? Harusnya, sejak 27 Desember 2011 itu, aku langsung melupakanmu dan tak membiarkan diriku terus mengingat bagaimana lembutnya sentuhan jemarimu, bagaimana halusnya belaian tanganmu, bagaimana manisnya suara beratmu. Harusnya aku sudah melupakan semua, namun pertemuan kita yang singkat itu ternyata tidak singkat bagiku. Kamu masih ada, akan terus ada.
Kesal dengan pikiran sendiri yang sejak tadi mengingatkanku pada kenangan kita, aku memutuskan untuk menutup laptop dan beranjak tidur. Suara hujan di Jogjakarta semakin deras, kutarik selimutku dan mencoba untuk memejamkan mata. Namun, tidurku kembali batal, ketika ponselku berdering nyaring. Aku membuka aplikasi chat terbaru yang baru beberapa hari aku unduh, aplikasi yang cukup menarik, aku bisa chat dengan orang-orang yang radiusnya sangat dekat dengan jarakku saat ini. Kulihat banyak sekali friend request yang harus aku terima, aku memilih dan memilih. Sebagai perempuan normal, tentu aku memilih yang bening terdahulu, baru yang dari latar pendidikan lumayan, juga pekerjaan yang cukup ideal menurut ukuranku.
Seusai memilih orang-orang yang bisa berteman denganku di aplikasi chat tersebut, handphone-ku kembali berdering. Dengan wajah malas, aku membalas pesan yang tertera di layarnya.

         "Hai, Sari, kok, masih online? Belum tidur?"
Aku membaca isi pesan itu tanpa meneliti siapa yang mengirimnya. Dengan dingin, aku membalas, "Siapa, ya?"
"Eh, sorry, kebetulan gue lihat lo online." aku membaca ketikan itu dengan masih tak peduli nama pengirimnya, "Gue Radit. Kebetulan lagi liburan di Jogja. Lo juga lagi di Jogja?"
"Hmm.... Radit." aku mengetik singkat, tanpa memberi perhatian lebih pada nama dari sosok si pengirim, "Iya, lagi di Jogja, tapi gue bukan asli sini. Gue tahu lo juga bukan asli sini."
"Yup. Gue stay di Bogor, kebetulan lagi nostalgia di Jogja." aku membaca pesan itu dengan malas, tak berniat untuk membalas lagi, namun ponselku berbunyi lagi, aku meraih benda itu lagi, "Kenapa lo tahu gue bukan asli sini?"
Pertanyaan bodoh, ucapku dalam hati, "Karena lo pakai sapaan gue-lo, kalau lo asli Jogja pasti lo pakai Mas, Mbak, Aku, Kamu. Asli mana emang?"
"Gue Bogor. Kalau lo asli mana?"
"Oh, okay. Bisa samaan gini lagi di Jogja dan gue juga dari Bogor." kebetulan yang belum aku pahami ini cukup membuatku tersenyum, "Lo nostalgia di Jogja? Emang pernah kuliah di sini?"
"Gue mikrobiologi pertanian, UGM, sih. Bukan jurusan favorit." jawabnya pendek.
Wait. Wait. Mikrobilogi Pertanian, UGM? Aku mengulang dalam hati. Radit, Mikrobiologi Pertanian, UGM? Sekali lagi aku mengulang informasi itu. Radit, Mikrobilogi Pertanian, UGM? Aku terbelalak. Aku langsung bangun dari tempat tidurku dan membuka profile dari sosok yang bertukar sapa denganku. Ada tiga foto di sana. Foto pria dengan mata sipit, berkacamata, dengan rambut cepak rapi. Aku ingat wajah itu. Bentuk alisnya, hidungnya, lekuk bibirnya. Dia orangnya.
Cepat-cepat aku kembali ke kotak chat, Radit sudah mengirim beberapa pertanyaan yang belum aku jawab. Pertanyaannya sederhana aku bekerja sebagai apa, sibuk apa, dan tinggal di Bogor bagian mana. Aku tak peduli pertanyaan itu. Aku langsung mengetik pertanyaan yang sejak tiga tahun ini memenuhi otakku.
Aku mengetik dengan cepat, “Kamu ke mana aja, Dit? Aku kangen.” Lalu, merasa kalimat itu tidak pantas untuk mengawali pertemuan pertama kami kembali, aku langsung menghapus kalimat itu lagi.
“Sekarang kamu di mana, Dit? Kerja apa? Udah merried? Punya anak berapa?” aku berpikir lagi, pertanyaan ini lebih tolol. Kembali aku menghapus pertanyaan itu lagi.
“Tiga tahun ini aku nunggu kamu, nyari kamu, nulis tentang kamu. Maaf ada beberapa cerpen yang berisi tentang kamu. Aku kalut. Aku nyari kamu ke mana-mana. Padahal, rumah kita bukannya deket banget, Dit?” pertanyaan yang kutulis makin tolol, aku menghapus pertanyaan itu lagi, dan memutuskan untuk menjawab pertanyaan Radit sesuai yang dia tanyakan padaku.
“Gue di Bogor yang mana, ya? Gue jelasin juga belum tentu lo ngerti. Hehehe.” aku menghela napas dan mencoba menahan gejolak di hati, “Cuma mahasiswi biasa di UI. Kerjaan gue ngegalau aja, sering ditinggalin pas lagi cinta-cintanya, sih.”
Aku tidak berusaha langsung menembak Radit dengan ribuan pertanyaan yang bertahun-tahun bercokol di hatiku. Lagipula, Radit belum tentu mengingatku, dia tentu sudah punya hidup yang lebih baik dari tiga tahun yang lalu. Dia pasti sudah punya kekasih, atau istri, atau anak-anak yang lucu, dan aku tak perlu jadi benalu dalam kebahagiaannya.
“Lo suka galau? Emang umur lo berapa sekarang?
“Gue sekarang 20, kalau lo?”
“November kemarin 27 tahun. Tua, ya? Haha.”
“Kalau kita jadian, lo ukurannya terlalu tua buat gue.”
Terlihat dari kotak chat, Radit sedang menulis pesan, “Bisa minta PIN BB lo?”
Aku berpikir sejenak, Radit mungkin tidak tahu siapa aku yang sebenarnya. Namun, dalam bayangku, Radit pasti membenciku, dia pasti begitu mudah melupakanku karena aku tak begitu spesial dalam hidupnya. Buktinya? Selama tiga tahun ini, dia tak mencariku, ketika aku masih diam-diam mencari dan berusaha sebisa mungkin mengetahui kabarnya. Seharusnya, aku pun tak perlu lagi terlihat mengulurkan tangan ketika Radit tiba-tiba datang dengan wajah polos, wajah bodoh karena dalam pikirannya tak ada ingatan tentang pertemuan aku dan dia di bus menuju Jogjakarta.
“Gue nggak pernah kasih PIN BB ke orang yang belum gue kenal, kita bisa chat di sini. Gue cukup aktif, kok.”
“Wah, galak juga. Okelah, istirahatkan pikiran lo. Udah malem, lo nggak tidur?”
“Ini gue lagi siap-siap tidur, kok.”
“Oke, selamat malam.”
Percakapan kami berakhir, aku tidak tahu harus merasa lega atau malah menyesal atau malah merasa telah dipertemukan kembali oleh seseorang yang selama ini kuanggap hilang. Namun, kalau aku boleh bertanya pada Tuhan dan sesegera mungkin Tuhan menjawabnya, aku ingin bertanya satu hal; apa arti dari semua ini?

Apakah maksud dari perasaan ini? Jika aku menunggu seseorang bertahun-tahun, menunggu tanpa tahu kabarnya sama sekali, menunggu tanpa kenal lelah. Apakah ini #SamaDenganCinta?

12 comments: