30 November 2013

Menemukanmu di Udara

Waktu itu aku masih terlalu dini untuk memahami cinta, yang kutahu aku sangat suka sepak bola hingga aku rela mengejar Bambang Pamungkas, Charis Yulianto, dan Isnan Ali hingga ke Stadion Sawangan. Aku  masih ingat saat itu kiper Timnas Indonesia masih Markus Horison dan Ferry Rotinsulu. Jaraknya stadion dari rumahku adalah empat puluh kilometer. Perjuanganku terbayar ketika peluh keringat tergantikan dengan kebahagiaan berlipat, kita bertemu, waktu itu usiamu tiga tahun di atasku.

Aku tak tahu apa itu namanya perasaan cinta atau kamu hanya memanfaatkan waktu-waktu sempit saat kamu turun minum. Selama ini, setelah kucoba pahami, sepertinya benar kalau itu cuma kertarikan sesaat, ketika kehilangan kabar darimu; aku tak punya keinginan untuk mencarimu. Mungkin, karena aku tahu tak ada yang perlu dilanjutkan ke hubungan yang serius. 

Di stadion tempat pertemuan kita, aku masih ingat kamu selalu menghampiriku yang duduk di dekat rumput pinggir lapangan. Sambil melihat pemain tim nasional berlatih, sesekali kamu mengajakku berbincang, dan aku masih ingat kamu marah besar ketika tahu tim favoritku adalah Persija dan Manchester United. Kamu suka biru, tak suka merah atau orange, kamu suka Persib dan Chelsea. Ah, semua tentangmu ternyata belum benar-benar terhapus dari ingatanku. 

Tubuhmu yang atletis dan peluh yang menetes di pelipismu belum bisa kulupakan. Tim nasional menggunakan lapangan bawah dan kamu yang bergabung di U-19 salah satu tim sepak bola yang tersohor kala itu berlatih di lapangan atas. Sambil menunggu Bambang Pamungkas, pria yang kucintai setengah mati itu turun ke lapangan untuk latihan, sesekali aku melihatmu yang sibuk berlatih di lapangan atas. Tentu aku ingat, kamu melambaikan tanganmu dan memanggil namaku dengan lantang, entah mengapa caramu memperlakukan aku selalu membuatku canggung. Aku, gadis berumur empat belas tahun kala itu hanya bisa tersenyum malu-malu, dan hanya berani mengabadikan namamu dalam ingatan. 

Memang, aku tak menunggumu selesai latihan. Kamu selesai latihan pukul lima, sementara aku harus memerhatikan idolaku yang mulai latihan pukul empat sore. Kamu tentu memahami perasaanku. Namun, aku tak tahu apakah kamu paham arti debar jantungku ketika kamu meminta nomor handphone-ku? Selanjutnya, seperti yang kubayangkan, kita bertukar kabar melalui pesan singkat dan percakapan di telepon. Sejak saat itu, aku selalu menunggu kamu. Sejak saat itu juga, aku mulai takut kehilangan kamu. 

Aku hancur ketika tahu kamu harus pindah ke Jogjakarta untuk melanjutkan mimpimu. Ketika kamu mengucap kata pisah, aku hanya bisa mengangguk lemah. Kita tak pernah terikat dalam hubungan apa-apa, rasanya terlalu naif jika aku harus menangis di depanmu atau terlihat sangat rapuh kala itu. Kubiarkan kamu pergi meninggalkan remuk redam hatiku yang lebam kala itu. Bayangkan, anak SMP bisa patah hati? Akhirnya aku tahu, ini bukan ketertarikan sesaat, ini adalah cinta yang berusaha aku hindari dan kamu pungkiri.

Tadi pagi, aku membuka koran dan rasanya sangat manis bisa melihat namamu tertulis di kolom olahraga. Ini bukan perasaan yang asing, kutemukan diriku yang selalu tersenyum ketika membaca, mendengar, dan melihat namamu di surat kabar, media online, dan media lain yang kupantau dengan ujung jemariku. Kamu berhasil meraih mimpimu bukan? Aku bahagia ketika tahu kamu sudah berhasil menjadikan dirimu seperti yang dulu sering kauceritakan padaku.

Di penerbangan JT567, Adisucipto-Soekarno Hatta ini, aku terbangun dari tidurku karena mendengar dengkuran yang sangat keras. Aku menatap tajam pria yang duduk di sampingku, pria yang cukup tampan dengan sedikit kumis halus di dekat bibirnya. Hidung yang tak terlalu mancung dan rahang yang tegas. Kuperhatikan sosok pria itu semakin dalam, pria yang wajahnya baru tadi pagi kulihat di surat kabar. Oh, ternyata kamu. Kali ini, Tuhan mau bikin apa lagi? Mau bikin hatiku remuk untuk kedua kali? 

Hahaha!

Kamu ingat foto ini? Foto ini kuambil ketika kamu menempelkan kepalamu di kepalaku, untuk melihat gambar yang ada di kamera digitalku. Andai jemariku seperti jemari Tuhan, aku ingin waktu saat itu terhenti.


dari pengagummu
yang masih takut
kehilangan kamu.

02 November 2013

Aku Ingin Kamu Pergi

Untuk Si Tukang Galau,

Aku sudah baca tulisanmu mengenai kesedihan yang selalu kaulebih-lebihkan itu. Mengapa kamu begitu mudah menikmati perasaan sedihmu dan melarikan segalanya ke dalam tulisan? Dewasalah, Sayang, seharusnya setelah kutinggalkan; itulah kesempatan kaubisa belajar banyak hal. Jangan dikira aku tidak membaca tulisanmu, diam-diam aku memerhatikan curahan hati di blog-mu dan saat jam-jam segini, aku sering mengintip lini waktu akun Twitter-mu, mencari-cari adakah sosokku dalam rintihan kegalauanmu?

Sambil mengisap rokok yang asapnya selalu kaubenci, juga menyesap kopi yang rasanya selalu kaucaci;  aku berusaha keras menulis ini. Semoga apapun yang kukatakan secara jujur di sini, tak akan membuatmu kecewa. Aku memang kuliah di Jogja, dengan budaya Jawa yang sangat kental, tapi di sini aku tak akan memberi sanepa atau kode atau isyarat seperti kamu selalu memberiku bahasa-bahasa perasaan aneh itu lalu memintaku menerjemahkan segalanya. Aku benci keegoisanmu tapi entah mengapa malam ini aku sangat merindukanmu.

Di ponsel jadul yang ada di samping laptop-ku ini, yang hanya bisa digunakan untuk menerima telepon dan membaca pesan singkatmu, ada banyak kenangan yang tak bisa kulupakan. Jangan dikira aku sudah melupakanmu, di ponsel ini masih ada pesan singkatmu, masih ada nomor kontakmu, dan masih saja kubiarkan kata-kata cintamu di pesan singkat; abadi dalam kotak masuk. Sayang, aku pun sebenarnya rapuh, tapi aku tidak seperti kamu yang bisa dengan mudah menujukkan kerapuhanmu pada dunia. Aku tidak bisa seperti itu, aku pria dan aku dituntut untuk menerima semua rasa sakit tanpa harus menujukkan air mata. Kuharap kamu memahami itu, Sayang, agar kautak selalu menyalahkanku atas perpisahan ini.

Detik ini, wajahmu mampir di otakku. Saat kamu membawakanku minuman dingin, aku tak bisa melupakan wajah polosmu. Senyummu sangat manis kala itu, rambut yang diikat satu, baju garis-garis hitam pink, jam tangan pink, anting emas putih, dan kalung salib. Tinggimu yang sebahuku membuatku begitu mudah untuk meraih bahumu, aku langsung menggenggam pergelangan tanganmu. Tahukah kamu saat itu aku sangat ingin memelukmu, mencium bibirmu, mengecup telingamu, melumat habis pipimu, dan berakhir dengan kecupan kecil di kening; seperti perjanjian kita mengenai hal yang akan kulakukan ketika pertama kali bertemu kamu.

Tapi, aku canggung. Aku tidak berani menyentuhmu terlalu lama dan tak berani bilang bahwa aku sangat senang jika kamu melihat aksiku menjadi zombie pada teater yang kupentaskan. Sesungguhnya, aku sangat ingin memelukmu kala itu, namun aku takut pada ratusan mata yang menyorot kita, aku takut dandananku yang lusuh mengotori bajumu, dan aku takut aroma tubuhku yang tidak beraroma parfum seperti tubuhmu akan merusak aroma wangi tubuhmu. Dan, ketika melihatmu, pertama kali melihatmu, aku sadar kamu terlalu tinggi untukku, kamu terlalu sempurna untuk sosok sederhana seperti aku. Sayang, inilah rasa sakitku yang tak kaupahami, yang selalu kauartikan bahwa aku pergi karena aku tidak mencintaimu lagi.

Aku menyesal telah pergi meninggalkanmu, aku menyesal telah meminta status kita yang sempat spesial harus kembali lagi menjadi status hanya teman. Kupikir, untuk saat ini, hal itulah yang terbaik. Aku belum siap menghadapi gemerlapnya kamu. Aku takut silaunya duniamu membuat aku tak siap menghadapi apapun yang akan menerjang hubungan kita kelak. Aku tidak siap menjadi pendampingmu, menjadi kekasih yang kisahnya harus selalu kaubawa dalam tulisanmu. Jadi, kuizinkan wanita itu masuk ke dalam hidupku, wanita yang selama ini mengejarku namun kuabaikan karena kaupernah hadir dalam hidupku. Dia hanya mahasiswi biasa, Sayang, bukan penulis skenario film juga bukan penulis novel seperti kamu. Tapi, dia tidak bisa seperti kamu, dia tidak kuat begadang, dia tidak mengerti jalan pikiranku seperti kamu mengerti jalan pikiranku.

Saat aku membicarakan soal sastra feminis, dia hanya geleng-geleng kepala. Mengingat kita pernah berbicara perihal sastra feminis sampai berbusa di tengah malam itu, aku jadi rindu sosokmu yang blak-blakan. Aku rindu kamu yang beberapa kali membantuku menyelesaikan tugas kuliah. Ah, kita sama-sama Sastra Indonesia, namun kaujauh sekali di sudut kota sana. Aku berusaha mencari-cari sosokmu dalam diri wanitaku, namun kautak ada di sana, kamu hanya satu di dunia. Dan, perempuan tukang galau tapi bisa membuatku nyaman selama ini hanyalah kamu. Kamu yang saat ini berusaha kujauhi, berusaha kubenci, dan berusaha kubunuh dalam hati.

Kita telah berpisah dan ini menyebabkanku ingkar janji. Aku pernah berjanji ingin mengajakmu ke kamar kontrakanku, yang ada di dekat vokasi UGM, dekat air terjun, yang suara gemerisik airnya selalu membuatmu tenang ketika berbicara denganku di telepon. Janjiku dulu, aku ingin membuat kamu mabuk dengan ciu atau dengan beer murah yang hanya sanggup kubeli dengan uang saku yang kumiliki. Pokoknya, apapun minumannya, aku ingin kita mabuk berdua. Lalu, aku membawamu ke dalam pelukan, menikmati wajahmu yang pusing dan hampir ambruk. Sesekali, di keremangan kamarku, kamu pasti bertanya soal poster Sapardi Djoko Damono yang kutempelkan di kamarku, lalu bertanya mengenai udara Jogja yang semakin malam semakin dingin. Itu masih dalam khayalanku. Khayalan yang kautolak mentah-mentah, dengan tawa pecah, ketika aku ungkapkan keinginan itu padamu.

Wahai gadisku yang senang bergalau ria di dunia seratus empat puluh karakter, meskipun kita tak lagi bersama, maukah kausering-sering datang ke Jogja; supaya aku tahu, apa yang sesungguhnya kaucari selama ini? Apakah kausungguh mencintaiku atau hanya menginginkan kisah kita untuk jadi bahan tulisanmu?

dari Zombie-mu
yang seringkali
tak tahu diri.

27 October 2013

Kukira Kita saling Jatuh Cinta

Untuk Zombie-ku,

Aku tidak pernah sesedih ini ketika membuka layar handphone. Dulu, ketika melihat pesan singkatmu di ponselku, aku selalu tersenyum, dan seharian kita bertukar kabar, malam harinya kita saling mendengar suara lewat ujung telepon. Namun, akhir-akhir ini, pesan singkatmu adalah hal yang selalu membuatku takut untuk melirik handphone, cacian dan bentakanmu membuatku sadar, aku kehilangan dirimu yang dulu.

Ketika menyadari kamu telah berubah, setiap hari aku berusaha mengembalikan dirimu yang dulu. Mengingatkanmu pada mimpi-mimpi kita dulu, memintamu memahami bagaimana dulu kita pernah saling mencintai, membuatmu paham ada seseorang yang tak ingin diam ketika melihatmu tiba-tiba jadi seseorang yang berbeda. Telah kutinggalkan semua, Sayang, pria-pria itu sesuai kemauanmu. Telah kulepaskan semua, demi kamu yang kupikir akan membahagiakanku.

Kuputuskan saatnya untuk bertemu kamu, walaupun dalam pesan singkat kamu sudah bilang lelah dengan segala sikapku, bosan dengan semua perjuanganku. Tapi, Sayang, aku ingin kamu tahu, aku baru akan berhenti jika kaujelaskan mengapa kaujadi berubah begini.

Perempuan mana yang tidak kecewa melihat orang yang dia cintai tiba-tiba memilih lari dan pergi tanpa alasan dan penjelasan? Kamu tahu aku perempuan yang dibesarkan untuk meminta semua penjelasan dari apapun yang kualami dan terjadi. Aku tak bisa menerima kepergianmu dan perpisahan kita seperti perempuan yang digambarkan di banyak media, yang harus sabar menunggu, yang harus diam menanti. Aku berbeda, Sayang, dan kuharap kaumampu memahami kerasnya sikapku ini. Apakah aku terlalu egois untuk tahu alasanmu?

Malam itu, sebenarnya aku pun ragu untuk menghampirimu. Rencananya, seusai menonton kamu pentas teater, aku ingin meninggalkan FIB UGM. Meninggalkan kenangan-kenangan yang pernah kita buat di sana. Melupakan setiap sudut yang mengingatkan aku padamu. 

Ketika kita bertemu di pelataran Margono FIB UGM, akhirnya aku bisa melihat bagaimana sinar matamu ketika melihatku. Kamu memegang pergelangan tangan kananku dan memegang bahuku. Sebelum berniat menemui kamu, aku membelikanmu minuman yang kuberikan untukmu, walaupun bukan segelas air putih hangat yang menjadi minuman kesukaanmu. Kamu mengucapkan beberapa kata yang berusaha kupahami di tengah riuhnya suasana seusai pementasan teater yang kaumainkan. Aku membelai rambutmu yang berantakan, juga wajahmu yang didandani merah-merah menyeramkan layaknya zombie betulan.

Kamu malu-malu, akupun begitu. Kamu bertanya soal supirku yang menjemput di depan FIB UGM. Lalu, kita berbasa-basi sebelum kamu pergi dan melaksanakan evaluasi. Kita tak berbicara soal perasaan atau membahas soal kejelasan status kita. Aku pergi, iya, akupun pergi begitu saja. Kamu tidak mengejarku dan di parkiran FIB UGM semalam, air mataku meleleh habis-habisan.

Pagi ini, sepulang dari gereja di depan UKDW itu, aku membuka ponsel yang sengaja kutinggalkan di rumah. Kubaca pesan singkatmu yang meminta aku menjauhimu karena kamu telah memiliki kekasih. Aku memejamkan mata dan berkata dalam hati, secepat itu? Sampai saat menulis ini, aku masih remuk dan tak percaya pada keputusanmu.

Kukira kita saling jatuh cinta, ketika kaubilang kamu mulai penasaran ketika ada sosok perempuan yang memilih UI lalu meninggalkan UGM. Kukira kita saling jatuh cinta, saat percakapan tengah malam yang diselipkan dengan beberapa kata sayang dan rindu itu terucap dari bibirmu dan bibirku; bibir kita. Kukira kita saling jatuh cinta, saat kaubilang kautelah berubah menjadi pria lemah lembut ketika berbicara denganku. Kukira kita saling jatuh cinta, ketika kamu ucapkan kata sayang tanpa memberika status dan kejelasan.

Aku sudah meninggalkan semua, datang padamu, entah dengan cara tolol agar kamu kembali. Aku menginginkan kamu yang dulu, kita yang dulu, yang masih baik-baik saja. Apa aku salah jika aku meminta penjelasanmu atas perubahanmu yang sampai saat ini tak bisa kupahami? Kenapa sampai saat ini kaumasih sulit percaya pada perasaanku? Mengapa kaubilang aku dekat pada banyak pria yang sebenarnya mereka semua adalah temanku? Aku sudah datang padamu, tapi kamu tidak ingin pulang, dan kaulebih lebih asik pada orang-orang yang mungkin tak memahamimu sedalam aku memahamimu. Aku sudah meninggalkan semua yang kaubenci, demi memintamu kembali, tapi kamu malah pergi tanpa alasan dan penjelasan.

Semoga keputusanmu bukan karena kamu selalu bilang perempuan dengan status sosial seperti aku tak ingin menghabiskan sisa hidup dengan pria sederhana. Semoga kepergianmu bukan karena kamu takut pada kesetiaanku pergi menghadap Tuhan setiap hari Minggu, sementara kauingin mengajakku lima waktu. Semoga bukan karena perbedaan itulah, kamu menyerah memperjuangkan perasaanmu.

Berbahagialah dengan wanita pilihanmu, semoga dia memahami sikap kasarmu, seperti aku berusaha memahami amarahmu mengeluarkan seluruh ini gembira loka dan safari ketika kamu marah dan lelah.

dari si tukang galau
yang cintanya berkali-kali kauanggap mainan
yang perasaan berkali-kali kauhancurkan.

15 October 2013

Merangkulmu Sehangat Tadi



Kamu menjabat tanganku dengan erat dan menatap mataku dengan pandangan pekat, seakan kaumerindukan dunia yang sejak dulu ingin kauselami. Dengan balutan jas hitam, celana bahan hitam, sepatu hitam; kautampak sangat formal sore itu. Aku menyambut genggaman tanganmu dengan senyum yang sama lebarnya dengan senyummu, kutatap matamu dalam-dalam, sinar terang yang kulihat beberapa minggu yang lalu, kembali terlihat lagi. Sebenarnya bibirku sudah ingin berucap sejak tadi. Aku merindukanmu dan bertahan beberapa minggu untuk menunggu pertemuan kali ini pun terasa amat menyakitkan. Kita bertahan dalam percakapan terbatas, hanya tulisan yang teretas. Seandainya kaupaham, ini bukan perasaan sederhana, sesederhana yang dulu pernah kaubilang; sebatas teman kerja.

Lewat pesan singkat tadi, aku sudah bilang ingin duduk di sampingmu. Tanpa pikir panjang, kamu menyetujui hal itu. Pikirmu, mungkin, aku ingin bertanya banyak soal kerjaan kita, soal tugas kita, dan soal rencana kita ke depan. Namun, tahukah kamu, alasanku mengajakmu duduk di sampingku hanya karena aku merindukanmu dan ingin melihat bola matamu lama-lama, tanpa dibatasi jarak, tanpa gangguan terangnya lampu, dan tanpa digugat oleh kehadiran orang lain? Alasan yang absurd memang, tapi sejujurnya itulah yang kuinginkan.

Teman, rasanya sakit sekali jika hingga detik ini aku hanya bisa menganggapku sekadar teman kerja. Rasanya perih sekali apabila sampai saat ini aku cuma mampu jadi pendampingmu dalam mengejar mimpi, namun hanya sebagai teman kerja, bukan kekasih. Dan, keinginanku pun terwujud walaupun aku harus menunggu beberapa waktu hanya untuk duduk di sampingmu. Kita duduk di tribun atas, ramai namun tak seribut di lantai bawah.

Saat semua mata hanya tertuju pada panggung, saat musik berdegup kencang, saat suasana mulai gelap tapi lampu sorot warna-warni di dekat panggung sibuk berkelap-kelip; aku merangkulmu dengan rapat. Entah karena kekuatan apa, kamu menggeser posisi dudukmu, lebih rapat ke arahku. Kamu seakan paham kalau aku butuhkan kehangatan darimu. Dirimu seakan mengerti, aku merindukan sentuhan yang berasal dari dekapanmu. Aku tak tahu perasaan ini patut dinamakan apa, tapi kita saling mengerti bahwa dalam kesepian hati, kaudan aku mampu saling mengobati. 

Status kita memang hanya sebatas teman kerja, namun kautahu; aku rasakan sesuatu yang lebih dari itu. Sebenarnya, aku pun tahu kamu ingin semua tak hanya sekadar rekan kerja, kamu juga ingin yang lebih bukan? Kemesraan di pesan singkat cukup membuatku mengerti isi hatimu. Tapi, aku dan kamu belum siap ke tahap itu. Cukuplah kita jadi rekan kerja, yang bertemu sebulan sekali untuk mempererat rencana kita. Jarak yang sangat kurang ajar antara Jakarta dan Bandung bisa mengganggu pekerjaan kita, apa enaknya digerogoti rindu sementara pekerjaan kita sudah super duper ribet seperti ini?

Rangkulanku pun bervariasi. Kadang, kugenggam jemarimu, kusandarkan kepalaku di bahumu, kubelai rambutmu hingga ke belakang lehermu, dan kurapatkan rangkulanku sambil memegang pinggangmu. Tapi, kamu ini memang dasar pecinta kerjaan, bahkan saat kepalaku bersandar di bahumu pun, kamu masih sempat-sempatnya bercerita tentang rencana kita ke depannya. Iya, kauberikan aku ruang untuk bermanja-manja tapi ceritamu tetap sama; perihal kerjaan. Inilah yang kusuka, ketika kauberbisik di telingaku saat suasana terlalu riuh oleh musik yang berdegup. Tahukah kamu saat itu aku merasa kita seperti.... sepasang kekasih. Ah, andai itu terjadi!

Aku masih menyandarkan kepalaku di bahumu, lalu sebuah panggilan masuk ke ponselmu. Kamu menjawab panggilan itu dengan suara lembut, selembut ketika kamu berbicara denganku. Masih dengan genggaman tanganmu yang berada di jemariku, kamu mengakhiri percakapan di ponsel dengan kalimat, "Aku pulang agak malam. Iya, aku juga sayang kamu."

Ucapanmu terakhir itu membuatku tersenyum miris. Aku menatap matamu dan mengajakmu bicara. Jarak antara wajah kita hanya beberapa sentimeter, kutatap matamu yang bening itu, juga wajahmu yang terlihat lebih tampan dalam keremangan. Mungkinkah kaurasakan degup jantungku kala itu? Degup jantung yang bilang bahwa ada perempuan yang takut pada jam-jam yang mendekati malam, jam-jam yang menunjukkan perpisahan. Dan, mimpinya akan segera berakhir, seperti Cinderella yang takut pada dentang jam tengah malam, seperti itu juga aku takut pada jam menuju adzan magrib. Saat-saat mendekati perpisahan kita, saat-saat acara seminar yang kita datangi harus berakhir. Lantas, aku harus kembali ke dunia nyata, harus kehilangan kamu lagi, dan kembali bergelut dengan kesibukan serta pekerjaan.

Sebelum lampu yang sangat terang dinyalakan, aku mendekapmu lebih erat. Tanpa kuberitahu pun, tentu kaupaham aku tak ingin kehilangan kamu, aku tak ingin menunggu waktu sebulan lagi untuk bertemu kamu. Aku ingin merangkulmu sehangat ini setiap hari, bahkan setiap saat kalau Tuhan izinkan aku menguasai waktu. Seminar usai dan lampu-lampu segera dinyalakan, kita tak mampu lagi berdrama, aku terhempas dari dunia mimpiku. Rekan-rekan kerja kita yang lain langsung mendekati kita, mengajak bicara tentang strategi dan rencana baru. Kamu kembali menjauh, jadi orang lain yang tak kukenali. Kamu dengan rekanmu, aku dengan rekanku, dan hanya mata kita yang sesekali bertemu; mengucap sesuatu entah apa itu.

Di akhir pertemuan, kita bersalaman. Berkali-kali kautanyakan apakah aku ingin cepat pulang? Aku tak mengangguk juga tak menggeleng, aku hanya menyentuh bahumu lama, menggenggam tanganmu sangat erat, dan menatap matamu sangat dalam. Aku tak ingin kita pisah lagi, aku tak ingin percakapan kita dibatasi tulisan lagi. Kamu memberi isyarat terima kasih atas kedatanganku hari itu, kusambut isyarat itu dengan ucapan, "Semoga bisa segera bertemu lagi."

Senyum itu mengembang tak selebar ketika awal kutemui kamu. Kamu menatap pria yang sudah menggenggam erat tanganku, dari eratnya genggaman tangan itu, kamu sudah bisa menilai; pria ini hanya ingin agar aku cepat pulang. Kamu ularkan tanganmu untuk bersalaman dengan pria di sampingku, "Pacar kamu semangat banget kerjanya." ucapmu dengan tawa yang kedengarannya dipaksakan.

Aku meninggalkanmu dan kulambaikan tangan sekali lagi sebelum kamu benar-benar jauh. Kamu tak menatapku, matamu malah menatap jemariku yang digenggam erat pria di sampingku. Lalu, beberapa detik setelahnya, kaumenatapku lagi, tersenyum penuh arti; seakan kauberbisik dengan sangat lirih.... jangan pergi.

Aroma tubuhmu sangat memabukan. Kapan kita bisa bertemu lagi? Tolong, secepatnya!

Untuk kamu yang pernah bilang
nangis tak akan menyelesaikan apapun.
Selamat bekerja!
 

05 October 2013

Ruang untuk Kita

Selamat malam Tuan yang entah mengapa terasa semakin jauh. Aku datang baik-baik untuk bertanya mengenai hal-hal manis yang kita jalani selama ini. Sejak dua puluh enam agustus tahun dua ribu tiga belas, kamu menyelip dalam ruang hatiku, menjadi sosok baru yang nampaknya menarik jika kunikmati dari berbagai sisi. Aku hanya ingin kamu tahu, kamu sudah jadi seseorang yang kuhargai keberadaannya, kutunggu pesan singkatnya, dan kurindukan suara beratnya. Kamu sudah jadi teman malamku, sapaan renyah pagiku, dan terik matahari siang yang membakar semangatku.

Kita sudah saling tahu sejak satu tahun lalu. Saat kautahu aku lebih memilih UI dan menanggalkan pengumuman diterima di UGM melalui jalur SNMPTN. Penasaran, itulah caramu menjelaskan awal perkenalan kita. Saat pesan singkatmu menggetarkan handphone-ku untuk pertama kalinya, saat tulisan besar kecil dengan tanda baca penuh itu memenuhi kotak masuk poselku; demi bumi dan langit, aku tak ingin membawa hubungan itu ke jenjang lebih serius. Cukup jadi teman.

Lalu, setahun kemudian kamu muncul dengan gaya baru. Bahasa yang tertata rapi yang membuatku kagum setengah mati. Jaket kuningku bersanding dengan jaket abu-abu kehijauan milikmu. Percakapan kita malam itu diawali dengan membandingkan UI dan UGM, tidak ada ketegangan, hanya rasa canggung yang kurasakan. Aku tak pernah berbicara senyaman ini dengan orang asing yang wajahnya belum pernah kutatap secara langsung. Pembicaraan panas itu merambat ke pembicaraan hangat, saat kauberbicara tentang puisi Chairil Anwar, cerpen Seno Gumira Ajidarma, serta kekagumanmu pada guru besar FIB UI; Sapardi Djoko Damono.

Hampir setiap malam, kamu menjadi bagian dalam hari-hariku, jadi tawa yang membawa damai sebelum tidur malamku. Tak hanya itu, kaudan aku rela terlelap hingga subuh, hanya karena tak ingin saling melepaskan. Terlalu terburu-burukah jika aku mencoba menyebut ini cinta? Jika terlalu tergesa-gesa, lalu apa namanya perasaan tak ingin melepaskan meskipun kutahu kamu tak mungkin berada dalam genggaman?

Dan, kedekatan kita, Tuan, sepertinya memang bukan lagi sebatas teman. Ketika kauberani mengganti "Dwit", menjadi "Ntaa." Singkatan dari cinta, katamu; yang berhasil membuatku muntah pelangi berak surgawi. Oke, jelek, ya, diksi yang kugunakan? Maaf, ya, siapalah aku ini dibanding sastrawan serba misterius seperti kamu? 

Awalnya, semua ini baik-baik saja. Sampai pada akhirnya aku tak tahan dengan kelancanganmu menyebut semua penghuni Gembira Loka dan Safari, saat kita bertengkar, soal pesan singkat yang kubalas lama, telepon yang tidak kujawab, dan isi mention bersama seorang pria yang tidak kaukenal. Aku membuka suara, kita sudah bicarakan hal ini berkali-kali. Aku sempat tak ingin membawa semua ke arah yang lebih serius karena kita berbeda, tolong garis bawahi itu, dan kauterima pendapat itu dengan lapang dada. 

Awalnya, Tuan, kita membuat kesepakatan, namun nampaknya cinta itu seperti kekuatan brengsek yang membuat aku dan kamu juga ingin melawan dalam ketidakberdayaan kita. Oke, kita sepakat tak pernah membawa semua ini ke dalam hubungan serius, tapi aku dan kamu ternyata mematahkan komitmen itu. Kita berontak, marah sama keadaan, marah dengan jarak, marah sama cinta, marah dengan kesepakatan awal. Aku dan kamu terlalu gengsi untuk membawa hubungan ini ke arah yang lebih serius. Selain terlalu gengsi, juga merasa belum siap pada jarak, pada perbedaan kita, pada masalah rindu, pada kurang ajarnya sinyal ponsel, pada ratusan kilometer jarak antara Bogor dan Jogjakarta. Kita marah sama siapapun, sama apapun yang membuat aku dan kamu selalu emosi setiap mendengar kalimat "Sebenarnya status kita ini apa? Siapa kita? Apa yang kita rasakan?"

Setelah lelah marah pada keadaan, kamu menyuruhku untuk mencari penggantimu. Aku tertawa, bergelak kencang sekali. Lalu, setelah tawaku diam, kamu berikan alasan. Kamu ingin lihat aku bahagia dengan yang lain, agar kamu punya alasan untuk melepaskanku dan tidak lagi mengharapkanku. Aku tertawa semakin geli, tapi mataku basah karena tertawa terlalu kencang. Kusambut saranmu dengan menyuruhmu juga mencari yang lain, agar aku bisa melepaskanmu dan melihatmu bahagia; meskipun kebahagiaanmu tidak lagi membutuhkanku.

Sekarang, rasanya keinginan kita sudah terwujud. Keinginan dua orang bodoh yang terlalu gengsi menyatakan perasaan, terlalu takut meminta kejelasan, dan terlalu takut melawan keadaan. Kamu entah dengan siapa sementara aku dengan dia. Hahaha! Terluka.

Ini bodoh, sungguh, maksudku apa susahnya bilang kalau aku dan kamu inginkan penyatuan? Punya satu tujuan? Mau saling memperjuangkan? Iya, berbicara cinta dan sayang memang tak mudah, tapi bukankah lebih menyakitkan jika kita hanya bisa saling gengsi, saling diam, tapi juga cemburu? Bukankah lebih menyedihkan jika aku dan kamu hanya bisa tertawa sebenarnya kita sangat tersiksa?

Bisakah kaubayangkan rasanya jadi dua orang yang saling mencintai tapi mereka termakan gengsi sendiri? Bisakah kaurasakan sakitnya dua orang yang saling merindukan, tapi hati mereka tak saling menyatukan? Tuan, bisakah kauresapi air mata dua orang yang saling berjauhan hanya karena mereka takut pada arus cinta yang semakin dijauhi justru semakin deras?

Hatimu sudah jadi milikku, hatiku sudah jadi milikmu. Namun, mengapa aku dan kamu tak kunjung menciptakan ruang untuk kita? Ruang tempat kita saling memahami juga mencintai, tanpa harus memerhatikan gengsi yang mematikan semua urat-urat hati.

untuk yang selalu percaya
saya tak punya cinta
saya tak pernah punya rindu
saya tak punya perasaan
Padahal, diam-diam;
dia sudah jadi segala– dalam kepala.