Sejak awal, ketika tubuh tegapmu menjegatku, aku sudah mereka-reka banyak jawaban di kepala. Saat sosokmu mulai kuasai pandangan, aku tahu ada sesuatu yang berbeda dalam dirimu. Kamu lebih sering berjalan dan berkeliling sambil melipat tangan di depan dada. Wajahmu dilipat sedemikian rupa hingga terlihat jutek dan cukup tampak menyebalkan. Hidung mancungmu lebih sering jadi pusat pandangan, dan betapa aku benci harus jujur mengenai hal ini— kamu sangat memabukkan.
Tubuhmu mematung di depan mereka yang mengagumi kewibawaanmu. Kamu cukup mengunci mulut, tanpa membentak dan mereka semua mengerti apa yang kaumau. Dari yang kulihat, kamu bukanlah sosok yang pantas diabaikan. Maka, kuputuskan untuk terus menatapmu diam-diam, meskipun kausibuk dengan banyak hal yang tak berhubungan denganku.
Berkali-kali kau melangkahkan kaki, ke sana-ke mari, dari sudut sana hingga sudut sini, berpindah ke banyak sisi— kaurenggut semua rasa peduli. Sesekali kaubertanya pada mereka, namun suaramu tak kunjung terdengar olehku. Suasana riuh hamburkan segalanya, meskipun terdengar berantakan, tapi nyatanya aku masih tak ingin melepas pandanganku dari gerak-gerik tubuhmu. Kuperhatikan caramu menggerakan bibir, menggerakan tanganmu, juga saat kaugerakan tubuhmu. Kamu tak pernah luput dari rasa penasaranku. Kaurebut kewarasanku hingga menyentuh titik kulminasi. Aku belum ingin meledak, aku masih ingin melihat sosokmu bergerak.
Langkahmu anggun, pelan, tapi pasti. Terarah namun tak tergesa-gesa, kamu berpindah ke barisan belakang untuk menjalankan tugas yang kauemban. Beberapa kali kauajak rekanmu berbicara, dan itulah kali pertama senyummu terlengkung sempurna. Aku terpukau dan semakin membabi buta, sungguh aku sangat ingin memastikan semuanya. Apakah kamu adalah dia, yang telah kuduga-duga? Atau semua hanya khayal yang melebihi batas wajar?
Entah sudah menit yang keberapa, dan pandanganku masih tak ingin melepaskanmu. Kamu seperti magnet dengan daya tarik terkuat, dan aku adalah benda konduktor yang rela ditarik oleh magisnya pesonamu. Awalnya, segalanya terasa asing, tapi denganmu semua nampak jelas. Senyummu tak terlalu sering tampak, karena memang tugasmu adalah memasang tampang menyebalkan. Jika kuminta sekali saja agar kau tersenyum hanya untukku... maukah?
Aku tahu kamu tak akan sadar kalau kuperhatikan, dan mungkin saja kamu memang tak mau tahu tentang seseorang yang diam-diam menyimpan goresan wajahmu dalam ingatan. Iya, mungkin juga kamu tak punya rasa peduli. Dan, aku hanya terjebak pertemuan semu yang berujung siksa, jika yang kuharapkan terlalu tinggi untuk kugapai.
Harapanku tak terlalu tinggi, hanya ingin kau menatapku dengan tatapan ramah dan hangat. Aku juga ingin mendengar suaramu dan merasakan hangatnya jemarimu. Di sudut sana, kamu berdiri dengan tatapan dingin, kepalamu diangkat kasar agar terkesan angkuh. Aku menghela napas dan kubiarkan kaulepas. Sedetik, dua detik, tiga detik... dan kausudah miliki tempat spesial itu; hatiku.
Selebihnya, aku tak lagi kenal hari. Aku hanya pandai menghitung-hitung wajahmu yang kini sering muncul tiap malam. Rambut gondrongmu yang berkilauan karena keringat dan sinar matahari jadi bayang-bayang yang mengusik konsentrasiku. Waktuku tersita sangat lama, hanya untuk memikirkanmu, juga pertemuan absurd kita yang terjadi tanpa sengaja.
Apa boleh aku sedikit lancang dan sok bijak menanggapi semua ini? Jika ini yang disebut takdir, maka aku belum sepenuhnya paham akan kehadiranmu dalam hari-hariku. Karena semua terjadi tanpa rencanaku dan juga rencanamu. Mungkinkah ada tangan ajaib yang sengaja mengatur langkah kaki kita agar berada di arah yang sama?
Apa boleh aku sedikit lancang dan sok bijak menanggapi semua ini? Jika ini yang disebut takdir, maka aku belum sepenuhnya paham akan kehadiranmu dalam hari-hariku. Karena semua terjadi tanpa rencanaku dan juga rencanamu. Mungkinkah ada tangan ajaib yang sengaja mengatur langkah kaki kita agar berada di arah yang sama?
Baru kali ini aku rajin menghitung hari, hingga waktunya datang dan aku kembali bertemu denganmu lagi.
Kaukenakan jaket kuning. Kukenakan batik yang kebesaran, dengan dua kuncir rambut yang mengubah wajahku menjadi polos.
bersambung ke Aku Benci harus Jujur Mengenai Hal ini (2)
Paaaaaassss bangeeeet :').. Aaaaaa hidup Mahasiswa! Hidup pengagum rahasia! *loh-_-"
ReplyDeletesedikit mengingatkan pada senior di acara OSPEK kemarin :)
ReplyDeletekakak bikin novel dong :)
ReplyDeleteYup! Setuju!
Deleteawesome:')
ReplyDeleteiya nih bikin novel dong Dwita!
ReplyDeletejanji deh beli, bahasa km itu jd inspirasiku loh
kdg2 aku bisa jd penuh kiasan gr2 baca tulisanmu!
youre so inspired! keep writin!
http://sweetsosabi.blogspot.com/
pengagum rahasia ;) (y)
ReplyDeleteNGENA, :'((
ReplyDeleteJatuh cinta pd sang aktivis kampus ..ngenaa :(( rambut gondrong beralmamater .hihi
ReplyDeletekeren ceritanya :)
ReplyDeleteIni cerita aku banget hikss ;'(
ReplyDeleteSuka semua sama tulisan kak dwita ;')
ReplyDelete