Hujan menari-nari di luar, suaranya terdengar parau namun
bersemangat. Udara dingin sudah sejak tadi menyergap tubuhku, selimut yang menghangatkan
tak terlalu berhasil mengusir rasa dingin. Kadang, gemuruh petir bersahutan, aku
menggerakan telapak tangan untuk menutupi telinga agar suara guntur tak terlalu
mengagetkan.
Lampu kamar kubiarkan menyala, aku masih sibuk membaca
buku untuk mengusir rasa kesepian. Malam-malam begini, ditambah lagi dengan
hujan, aku selalu merasa sendirian. Aku curiga pada malam yang selalu
mengundang rasa asing bernama kesunyian. Entah mengapa malam masih saja menjadi
sebab utama munculnya kegalauan seseorang. Tak banyak suara yang kudengar,
hanya detak jarum jam dan derasnya hujan yang terdengar semakin deras. Fokusku
terbagi untuk buku yang berada dalam genggaman jemari, buku ini sudah
berkali-kali kubaca, aku hampir hapal setiap diksi yang berada di beberapa
paragraf. Tidak. Aku tidak bosan membaca buku ini, buku yang diberikan oleh
seseorang yang sangat spesial, dihari ulangtahunku yang ke-23 dulu.
Saat malam semakin mengenjang, dan mataku mulai redup. Aku
meletakkan buku di samping tempat tidur, lalu segera berjalan mendekati sekring
lampu. Lampu padam. Aku siap terlelap.
Mencoba untuk terpejam dengan cepat, namun gagal. Langit-langit
kamar yang terlihat samar-samar seperti membuat gambar yang begitu mudah
kukenali. Aku memikirkan sosok itu lagi, sosok yang begitu spesial dalam mata dan
hatiku, sosok yang namanya selalu ada dalam rapalan doaku. Aku mencoba terpejam
lagi, hingga satu suara menggoncangkan detak jantungku.
Suara ketukan yang sangat keras, kukira hanya halusinasi,
tapi setelah kudiamkan lebih lama, suara itu malah semakin besar dan terdengar
jelas. Aku tak enak hati, kuhempaskan selimut dan segera bangun dari tempat
tidurku, langkahku mantap saat ingin membuka pintu kamar. Suara ketukan
terdengar lebih keras ketika aku berjalan mendekati ruang tamu.
Tanganku gemetaran memegang gagang pintu.
Pintu terbuka.
Seseorang dengan tubuh basah kuyub menatapku dengan
tatapan nanar.
***
“Air mandinya tadi hangat enggak?” tanyaku dengan nada
datar sambil membawakan dia segelas coklat panas.
Ia segera meraih cangkir yang belum kuletakkan di meja,
tak sabar menyeruput minuman hangat yang kubuat beberapa menit yang lalu. “Thanks, Dira. Sorry kalau gue ngerepotin
elo.”
“Enggak apa-apa, santai aja sama gue, Gabriel.”
Mata sedih yang penuh dengan tanya tak mampu ia
sembunyikan, Gabriel segera meminum coklat panas yang ada di cangkirnya. Sweater dan selimut yang kuberikan
sehabis ia mandi nampaknya tak terlalu menolongnya dari rasa dingin. Aku tak
menatapnya terlalu lama, membiarkan emosinya tenang sebelum aku bertanya dan
mengintrogasinya dengan banyak pertanyaan.
“Habis darimana?”
“Dari rumah Rana.”
Aku menghela napas, mempersiapkan diri untuk mendengar
berita selanjutnya, “Lantas, kenapa enggak langsung pulang ke rumah elo?”
“Tadi, ada masalah sedikit.”
“Masalah apa?”
Gabriel terdiam dan memalingkan wajahnya dari tatapanku.
Ketika menyadari pertanyaanku kembali mengaduk-aduk
emosinya, aku memberi jeda waktu beberapa detik, dan menunggu waktu yang tepat
untuk membicarakan permasalahan yang terjadi, “Elo mau cerita sama gue?”
“Tadi, ketika sampai di rumah Rana, gue lihat ada mobil
di terasnya, gue kira mobil temannya. Makanya gue nyantai aja masuk langsung ke
rumahnya.” jelas Gabriel dengan napas terengah-engah, ia masih berusaha
menceritakan kronologis kejadiannya. “Tapi, sewaktu di ruang tamu, gue lihat
Rana lagi ciuman sama cowok lain. Mesra banget.”
“Terus?”
“Gue langsung meninggalkan rumahnya, ngebanting pintu
rumahnya.”
“Dia sadar dan minta maaf sama lo?”
“Enggak, dia bahkan enggak mengejar gue. Telepon gue
enggak diangkat sama dia juga.”
“Daridulu gue bilang juga apa, itu cewek jalang banget.”
“Dia berubah karena lingkungan, Dira. Gue percaya Rana masih anak yang baik-baik.”
“Elo masih mau percaya ketika rasa percaya lo dihancurkan
berkali-kali?”
“Iya, gue masih percaya, gue sayang sama dia.”
“Ini bukan yang pertama kalinya, ini udah lebih dari satu
kali, Gabriel!”
“Gue bakal selalu memaafkan dia, wujud cinta adalah memaafkan bukan?”
“Tolol!”
“Elo bisa bilang gitu karena elo enggak ngerasain apa
yang gue rasa.”
“Gue emang enggak ngerasain apa yang elo rasakan, tapi
setidaknya gue enggak sebodoh elo yang selalu percaya sama orang yang
seharusnya enggak dapet kepercayaan dari elo.”
“Kok elo jadi keras gini sih, Ra?”
Aku menatapnya dengan tatapan serius. “Ini semua
demi kebaikan elo.”
“Tapi, kebahagiaan gue tergantung pada Rana.”
“Itu pemikiran bodoh namanya, ada banyak orang di dunia ini, kenapa satu
orang saja harus bikin elo sedih dan enggak bahagia terus-terusan?"
Gabriel terdiam, ia mengganti posisi duduk,
membelakangiku. Hanya punggungnya saja yang terlihat, telapak tangannya berada
di wajah, berusaha menyembunyikan air mata.
Aku berhenti menatapnya, agar tidak ikut sedih dan
menangis. Aku sungguh ingin menenangkan emosinya, mendekapnya, memeluknya, lalu
menghapus air matanya dengan jemariku sendiri. Tapi, aku terlalu dangkal dan
terlalu pengecut untuk itu. Aku hanya temannya, tempat ia melabuhkan segala
kesepian ketika ia bertengkar dengan kekasihnya. Aku tak berhak meminta lebih. Dia
datang hanya saat butuh, hanya saat ia sedang sedih dan butuh teman berbagi,
tapi itu lebih baik daripada ia tak datang dan benar-benar melupakanku.
Harusnya, aku tak sekeras ini padanya, juga tak sekeras
ini pada diriku sendiri. Semua jadi begitu rumit ketika aku mulai mencintainya,
dan lebih pelik lagi ketika tahu, ia sama sekali tidak merasakan apa yang
kurasa. Gabriel memberikan hatinya pada seorang wanita yang tidak benar-benar
mencintainya, aku tak bisa berbuat banyak, karena senyum Gabriel sangat
tergantung pada wanita itu, wanita itu seperti mesin pengolah emosi yang
menjadi tumpuan Gabriel saat menajalani hari-harinya.
Siapakah aku di mata Gabriel? Aku hanyalah pelarian tempat
ia selalu membuang air mata dan kesedihannya. Aku adalah boneka yang dipungut
kembali, lalu dihempaskan lagi ketika ada yang baru dan lebih menarik. Aku tak
lebih dari wanita yang rela menyediakan waktuku untuk seseorang yang bahkan tak
menganggapku ada. Harapanku terlalu besar, bahkan aku yang benar-benar
mencintainya sama sekali tak terlihat oleh mata dan hatinya.
Menyakitkan rasanya jika tak bisa membantu seseorang yang
dicintai hanya karena dia bukanlah kekasihmu, dan kamu merasa tak berhak untuk
bertindak lebih jauh. Menyakitkan rasanya jika kamu tak berani memeluk seseorang,
hanya karena merasa kekasihnya bisa memberikan pelukan yang lebih hangat dari pelukmu.
Semua rasa sakit semakin bertambah, tapi perhatian dan perasaan sayang padanya juga semakin bertambah, semakin kuat dan semakin dalam. Aku mencintainya
sementara Gabriel belum bisa berhenti mencintai kekasihnya. Aku tak bisa
memaksanya, karena cinta tak akan hadir jika karena paksaan.
Air matanya adalah masalah besar bagiku. Dan, aku tak
pernah suka melihat seseorang yang kucintai dibuat menangis seperti ini.
bersambung Memeluknya dengan Lenganku Sendiri (2)
lanjutannya manaaaaaaaaaa? T_T
ReplyDeleteselalu keren :)
ReplyDeletelagi nungguin lanjutannya ya :D
ReplyDeleteAku tak lebih dari wanita yang rela menyediakan aktuku untuk seseorang yangtak pernah menganggapku ada .
Delete#baca ini , rasanya dalem T-T
saya menemukan sosok dia pada gabriel yang tdak pernah bisa mengulur tangannya untuk menyambutku :')
ReplyDeletekerennnnnnnnnn
ReplyDeleteaahhh, sedikit nyindir nih mbak cerpennya :''''>
ReplyDeleteSeperti biasa, berhasil menyentuh hati siapapun yang membacanya :)
ReplyDelete#jleb bgt kak. Jadi keinget masa lalu -_-
ReplyDeletenice...
ReplyDeletewww.lukmanzen.com
awww.. keren.. ditunggu lanjutannya ;)
ReplyDeletenice story kak... :3
ReplyDeleterasanya pengen jadi kayag kak dwitasari, penulis.. :)
HAHHAAHH gabriel
ReplyDeletesumpah, kejadiannya pas banget :'(
ReplyDeletenice story {}
ReplyDeleteu're my inspiration mbak Dwita
ReplyDeleteManaa selanjutnya kaak :'(
ReplyDeleteGood story kak dwita :')
ReplyDeleteTokoh gabriel sm bgt dg sikap dia. :'(
ReplyDeletenice kak :')
ReplyDelete