Cerita sebelumnya: Cinta Bangku Belakang
Aku selalu datang paling pagi, mengincar bangku depan,
aku tak ingin ketinggalan pelajaran yang menggiurkan. Aku duduk sendirian,
kelas masih sepi, mungkin teman-temanku masih sibuk dalam dunia mimpi. Aku
membuka buku pelajaran, membolak-balik setiap halaman. Terlalu rajin.
Tatapanku menyentuh jendela. Mendung. Sayang sekali kalau
sampai hujan, hujan membuat setiap orang merasa ngantuk, berbeda situasi jika
ada seseorang yang dipeluk. Tapi, siapa yang mau berpelukan di tengah
pelajaran? Aku yakin teman-temanku masih waras, aku pun juga begitu.
Heran sudah jam segini, yang datang hanya segelitir
orang, dihitung dengan jaripun masih bisa. Kemana teman-temanku? Jadi, mendung
tak tahan untuk menangis, manja sekali. Hujan.
Kelas sepi, banyak yang datang terlambat. Pengajar sudah
masuk yang lainnya masih tergopoh-gopoh dengan baju yang kebasahan, kehujanan. Pria
itu, yang kutunggu-tunggu, juga datang terlambat. Seperti biasanya, ia duduk di
bangku belakang.
Mata kami tadi sempat bertemu, hanya beberapa detik, lalu
saling melepaskan. Seakan-akan tak terjadi apa-apa kemarin sore. Seakan-akan
tak ada peristiwa penting yang terjadi saat hujan kemarin. Apakah semua pria
seperti itu? Selalu mudah lupa dan mudah menganggap segalanya tak penting?
Aku menghela napas, seharusnya dia memang tak penting,
dan aku juga tak perlu memikirkannya. Tapi, sejak peristiwa kemarin, entah
mengapa dia tak berhenti menghampiri otakku. Aku tak bisa melupakan tatapannya
yang asing kala itu. Betapa manisnya dia saat memberikan jaketnya untuk
menghangatkan tubuhku. Matanya, hidungnya, bibirnya, dan suara lembutnya
berotasi dalam pikiranku.
Sialan! Keluhku
kesal, dalam hati. Mengapa dia berbeda? Mengapa dia tak semanis kemarin?
Mengapa dia tak sehangat dan seramah saat bersamaku... saat kita hanya berdua.
Pria yang kulihat saat ini, yang sedang diam-diam
kuperhatikan, adalah pria yang berbeda, bukan pria manis yang mengejutkanku
dengan sentuhan bibirnya. Sungguh berbeda, aku tak melihat sosok manis itu
dalam dirinya saat ini. Mengapa segalanya berubah dalam hitungan jam?
Aku jadi tak bersemangat memerhatikan pengajar, juga tak
bersemangat mencatat. Aku ingin jawaban dari semua rasa penasaranku. Pria itu...
bahkan dia tak menatapku. Dan, aku? Hey, aku menemukan diriku yang berbeda,
kali ini aku menyerongkan posisi dudukku, diam-diam menatap ke arah belakang,
berharap wajah itu setidaknya menatapku dengan tatapannya yang polos dan lugu
seperti kemarin.
Sekarang, aku juga berbeda. Aku semakin heran karena perhatianku tiba-tiba terenggut oleh sosok
yang tak kukenal. Masih tentang pria itu, pria yang tak kukenal namanya. Aku bahkan
tak peduli pada detak jam dinding, juga waktu yang bergulir cepat ketika aku
menikmati wajahnya, memerhatikan belahan bibirnya yang kemarin sore kurasakan.
Sungguh, dia sangat memabukkan.
Kali ini, pandanganku menjalar menyentuh rambutnya yang
hitam. Tak terlalu rapi memang, tapi bagiku potongan rambutnya membuat dia
terlihat lebih tampan dan sederhana. Rahangnya menambah kesan angkuh; angkuh
yang eksklusif. Ya, maksudku, dia nampak seperti pria yang sulit ditaklukan. Hidungnya
yang tak terlalu mancung memang menambah kesan menyenangkan ketika ia mendesahkan
napasnya pelan. Bibirnya, sudah kujelaskan, dan bisa merasakan bibirnya memang
hal yang sangat mendebarkan, seperti kemarin sore.
Keindahan apa lagi yang belum kujelaskan tentang dirinya?
Lehernya yang jenjang memang kadang ia sembunyikan. Dadanya yang bidang membuat
semua wanita ingin bersandar hangat dalam peluknya. Oh, Tuhan, mahluk macam apa
yang Kauizinkan untuk menggodaku kali ini?
Sudahlah, aku memutuskan untuk melepaskan pandanganku
dari sosoknya. Toh, dia makin cuek, dia juga tak mau menatapku. Dia sudah
menjadi mahluk paling berbeda meskipun baru puluhan jam yang lalu kami melewati
waktu bersama.
Pengajar sudah meninggalkan kelas, aku merapikan bukuku
di meja. Teman-temanku yang lain sudah lebih dulu keluar, ingin segera pulang
dan bermalas-malasan. Udara dingin yang mencekam seperti ini memaksa mata
selalu ingin terpejam, dan tubuh selalu rindu kasur.
Kelas sudah sepi, aku sudah siap meninggalkan kelas. Aku berdiri
dari bangku yang kududuki, namun tubuhku terhempas lagi. Jemari yang tak begitu
asing meremas bahuku; hingga aku kembali terduduk.
“Buru-buru ya, Sera?” sergah pria itu santai, kali ini ia
duduk di sampingku. “Di luar hujan.”
“Oh, ya? Aku tidak peduli, aku ingin segera meninggalkan
kelas ini.”
“Sera....”
“Apa?!”
“Kok sinis?”
“Mau yang manis? Romantis? Cih!”
“Lho, kamu marah?”
“Tidak.”
“Sungguh?”
“Bukan urusanmu! Sok misterius!”
“Kamu tidak tersenyum.”
“Aku hanya tersenyum pada orang yang menurutku penting.”
“Sejak peristiwa kemarin sore, aku belum juga jadi
seseorang yang penting bagimu?”
Aku terdiam.
“Sera, kok diam?”
“Aku tidak paham dengan perlakuanmu tadi, kamu diam,
tidak menatapku, tidak menyapaku, tidak melirik ke arahku... tidak sehangat
kemarin.”
“Aku kira kamu marah.” jawab pria itu setengah berbisik,
lengannya menyentuh lenganku. “Ketahuilah, Sera. Kadang, pria memang tak perlu
menunjukkan perasaannya.”
“Semua pria gengsi. Gengsi gede-gedean!”
“Kamu berarti belum paham.”
“Apa yang harus kupahami? Aku sudah cukup lelah dengan
pelajaran hari ini, aku tak ingin memenuhi otakku lagi dengan
pemahaman-pemahaman aneh.”
“Kamu lelah karena pelajaran?”
“Tentu saja.”
“Padahal, selama pelajaran, kamu sibuk menatapku.”
Deg. Bibirku terkunci.
Kelu.
“Tatapanmu yang tajam, mendelik, namun menggoda itu bisa
kurasakan, Sera.”
“Jadi, kamu juga memerhatikanku?”
Ia mengangguk pelan.
“Lalu, kenapa tidak balas menatapku?”
“Tatapan tak harus dibalas dengan tatapan.”
Pria bersorot mata hangat itu mendekat, ketika tubuhnya
bergerak cepat, aku tak bisa lagi mengelak.
Ia memelukku. Tak pernah aku merasa sehangat itu.
“Aku Ravinto. Mohon diingat. Pentingkan aku dalam
ingatanmu.”
Aku mengangguk pelan. Sentuhannya tak pernah kuduga.
Dia berbeda.
Keren kak, aku suka...
ReplyDeleteAjari aku untuk menggunakan bahasa yang indah :) #hope
iih kerern sumpah!! :D
ReplyDeletekeren,"tatapan tak harus di balas dengan tatapan" :)
ReplyDeleteKeren kak ceritanyaa:D bahasa nya jugaa kereeeeeeeeeeeen bangeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet *gakboongloh:D
ReplyDeletebagus banget kaaaaak sukaa :") aku nyimpulin, tatapan balasan bukan yg terpenting, tp hati yg merasakan tatapan itu yg paling penting :)
ReplyDeletebagus kak, 4 jempol! ^^
ReplyDeletesangat bagus kata katanya menghanyutkan dan membuat seakan akan kita lah yang berada di dalam cerita. bagus sekali kak :D
ReplyDeletebener2 keren banget ceritanya kak! :')
ReplyDeleteini gimana caranya bisa pake bahasa yang sekeren ini, ya Tuhaaan... pingin bisa nulis kaya kakak ini.
ReplyDeleteHanyut...dan masih ingin hanyut bersama kisah ini :)
ReplyDeletegood job Dwita :)
so switttt :D
ReplyDeletesumpah demi apa sosweat ;D
ReplyDeleteKreeeeeeennn :D
ReplyDeleteaku suka ceritanya. suka sekali dg sentuhan bahasamu ka Dwitasari :)
ReplyDeletesuka sekali
ReplyDeletekereen sekali:D
ReplyDeleteAngkuh yang eksklusif ( ื▿ ืʃƪ)
ReplyDeleteIni keren :D
ReplyDeletehuaaaa, keren banget kak , ughh senyum - senyum sendiri pas baca endingnya , kyaaaa
ReplyDeleteHuuwaaaa ... gemes sama critanyaaa ...
ReplyDeleteHuwaaa .. gemes sama critanyaa ...
ReplyDeleteKa lagi lagi dan lagi keren sumpah !!!
ReplyDelete