08 October 2012

Cinta Bangku Belakang (end)



 Cerita sebelumnya: Cinta Bangku Belakang

           Aku selalu datang paling pagi, mengincar bangku depan, aku tak ingin ketinggalan pelajaran yang menggiurkan. Aku duduk sendirian, kelas masih sepi, mungkin teman-temanku masih sibuk dalam dunia mimpi. Aku membuka buku pelajaran, membolak-balik setiap halaman. Terlalu rajin.
            Tatapanku menyentuh jendela. Mendung. Sayang sekali kalau sampai hujan, hujan membuat setiap orang merasa ngantuk, berbeda situasi jika ada seseorang yang dipeluk. Tapi, siapa yang mau berpelukan di tengah pelajaran? Aku yakin teman-temanku masih waras, aku pun juga begitu.
            Heran sudah jam segini, yang datang hanya segelitir orang, dihitung dengan jaripun masih bisa. Kemana teman-temanku? Jadi, mendung tak tahan untuk menangis, manja sekali. Hujan.
            Kelas sepi, banyak yang datang terlambat. Pengajar sudah masuk yang lainnya masih tergopoh-gopoh dengan baju yang kebasahan, kehujanan. Pria itu, yang kutunggu-tunggu, juga datang terlambat. Seperti biasanya, ia duduk di bangku belakang.
            Mata kami tadi sempat bertemu, hanya beberapa detik, lalu saling melepaskan. Seakan-akan tak terjadi apa-apa kemarin sore. Seakan-akan tak ada peristiwa penting yang terjadi saat hujan kemarin. Apakah semua pria seperti itu? Selalu mudah lupa dan mudah menganggap segalanya tak penting?
            Aku menghela napas, seharusnya dia memang tak penting, dan aku juga tak perlu memikirkannya. Tapi, sejak peristiwa kemarin, entah mengapa dia tak berhenti menghampiri otakku. Aku tak bisa melupakan tatapannya yang asing kala itu. Betapa manisnya dia saat memberikan jaketnya untuk menghangatkan tubuhku. Matanya, hidungnya, bibirnya, dan suara lembutnya berotasi dalam pikiranku.
            Sialan! Keluhku kesal, dalam hati. Mengapa dia berbeda? Mengapa dia tak semanis kemarin? Mengapa dia tak sehangat dan seramah saat bersamaku... saat kita hanya berdua.
            Pria yang kulihat saat ini, yang sedang diam-diam kuperhatikan, adalah pria yang berbeda, bukan pria manis yang mengejutkanku dengan sentuhan bibirnya. Sungguh berbeda, aku tak melihat sosok manis itu dalam dirinya saat ini. Mengapa segalanya berubah dalam hitungan jam?
            Aku jadi tak bersemangat memerhatikan pengajar, juga tak bersemangat mencatat. Aku ingin jawaban dari semua rasa penasaranku. Pria itu... bahkan dia tak menatapku. Dan, aku? Hey, aku menemukan diriku yang berbeda, kali ini aku menyerongkan posisi dudukku, diam-diam menatap ke arah belakang, berharap wajah itu setidaknya menatapku dengan tatapannya yang polos dan lugu seperti kemarin.
            Sekarang, aku juga berbeda. Aku semakin heran karena  perhatianku tiba-tiba terenggut oleh sosok yang tak kukenal. Masih tentang pria itu, pria yang tak kukenal namanya. Aku bahkan tak peduli pada detak jam dinding, juga waktu yang bergulir cepat ketika aku menikmati wajahnya, memerhatikan belahan bibirnya yang kemarin sore kurasakan.
            Sungguh, dia sangat memabukkan.
            Kali ini, pandanganku menjalar menyentuh rambutnya yang hitam. Tak terlalu rapi memang, tapi bagiku potongan rambutnya membuat dia terlihat lebih tampan dan sederhana. Rahangnya menambah kesan angkuh; angkuh yang eksklusif. Ya, maksudku, dia nampak seperti pria yang sulit ditaklukan. Hidungnya yang tak terlalu mancung memang menambah kesan menyenangkan ketika ia mendesahkan napasnya pelan. Bibirnya, sudah kujelaskan, dan bisa merasakan bibirnya memang hal yang sangat mendebarkan, seperti kemarin sore.
            Keindahan apa lagi yang belum kujelaskan tentang dirinya? Lehernya yang jenjang memang kadang ia sembunyikan. Dadanya yang bidang membuat semua wanita ingin bersandar hangat dalam peluknya. Oh, Tuhan, mahluk macam apa yang Kauizinkan untuk menggodaku kali ini?
            Sudahlah, aku memutuskan untuk melepaskan pandanganku dari sosoknya. Toh, dia makin cuek, dia juga tak mau menatapku. Dia sudah menjadi mahluk paling berbeda meskipun baru puluhan jam yang lalu kami melewati waktu bersama.
            Pengajar sudah meninggalkan kelas, aku merapikan bukuku di meja. Teman-temanku yang lain sudah lebih dulu keluar, ingin segera pulang dan bermalas-malasan. Udara dingin yang mencekam seperti ini memaksa mata selalu ingin terpejam, dan tubuh selalu rindu kasur.
            Kelas sudah sepi, aku sudah siap meninggalkan kelas. Aku berdiri dari bangku yang kududuki, namun tubuhku terhempas lagi. Jemari yang tak begitu asing meremas bahuku; hingga aku kembali terduduk.
            “Buru-buru ya, Sera?” sergah pria itu santai, kali ini ia duduk di sampingku. “Di luar hujan.”
            “Oh, ya? Aku tidak peduli, aku ingin segera meninggalkan kelas ini.”
            “Sera....”
            “Apa?!”
            “Kok sinis?”
            “Mau yang manis? Romantis? Cih!”
            “Lho, kamu marah?”
            “Tidak.”
            “Sungguh?”
            “Bukan urusanmu! Sok misterius!”
            “Kamu tidak tersenyum.”
            “Aku hanya tersenyum pada orang yang menurutku penting.”
            “Sejak peristiwa kemarin sore, aku belum juga jadi seseorang yang penting bagimu?”
            Aku terdiam.
            “Sera, kok diam?”
            “Aku tidak paham dengan perlakuanmu tadi, kamu diam, tidak menatapku, tidak menyapaku, tidak melirik ke arahku... tidak sehangat kemarin.”
            “Aku kira kamu marah.” jawab pria itu setengah berbisik, lengannya menyentuh lenganku. “Ketahuilah, Sera. Kadang, pria memang tak perlu menunjukkan perasaannya.”
            “Semua pria gengsi. Gengsi gede-gedean!”
            “Kamu berarti belum paham.”
            “Apa yang harus kupahami? Aku sudah cukup lelah dengan pelajaran hari ini, aku tak ingin memenuhi otakku lagi dengan pemahaman-pemahaman aneh.”
            “Kamu lelah karena pelajaran?”
            “Tentu saja.”
            “Padahal, selama pelajaran, kamu sibuk menatapku.”
            Deg. Bibirku terkunci. Kelu.
            “Tatapanmu yang tajam, mendelik, namun menggoda itu bisa kurasakan, Sera.”
            “Jadi, kamu juga memerhatikanku?”
            Ia mengangguk pelan.
            “Lalu, kenapa tidak balas menatapku?”
            “Tatapan tak harus dibalas dengan tatapan.”
            Pria bersorot mata hangat itu mendekat, ketika tubuhnya bergerak cepat, aku tak bisa lagi mengelak.
            Ia memelukku. Tak pernah aku merasa sehangat itu.
            “Aku Ravinto. Mohon diingat. Pentingkan aku dalam ingatanmu.”
            Aku mengangguk pelan. Sentuhannya tak pernah kuduga.
            Dia berbeda.

22 comments:

  1. Keren kak, aku suka...
    Ajari aku untuk menggunakan bahasa yang indah :) #hope

    ReplyDelete
  2. keren,"tatapan tak harus di balas dengan tatapan" :)

    ReplyDelete
  3. Keren kak ceritanyaa:D bahasa nya jugaa kereeeeeeeeeeeen bangeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet *gakboongloh:D

    ReplyDelete
  4. bagus banget kaaaaak sukaa :") aku nyimpulin, tatapan balasan bukan yg terpenting, tp hati yg merasakan tatapan itu yg paling penting :)

    ReplyDelete
  5. bagus kak, 4 jempol! ^^

    ReplyDelete
  6. sangat bagus kata katanya menghanyutkan dan membuat seakan akan kita lah yang berada di dalam cerita. bagus sekali kak :D

    ReplyDelete
  7. bener2 keren banget ceritanya kak! :')

    ReplyDelete
  8. ini gimana caranya bisa pake bahasa yang sekeren ini, ya Tuhaaan... pingin bisa nulis kaya kakak ini.

    ReplyDelete
  9. Hanyut...dan masih ingin hanyut bersama kisah ini :)
    good job Dwita :)

    ReplyDelete
  10. sumpah demi apa sosweat ;D

    ReplyDelete
  11. Kreeeeeeennn :D

    ReplyDelete
  12. aku suka ceritanya. suka sekali dg sentuhan bahasamu ka Dwitasari :)

    ReplyDelete
  13. Angkuh yang eksklusif ( ื▿ ืʃƪ)

    ReplyDelete
  14. huaaaa, keren banget kak , ughh senyum - senyum sendiri pas baca endingnya , kyaaaa

    ReplyDelete
  15. Huuwaaaa ... gemes sama critanyaaa ...

    ReplyDelete
  16. Huwaaa .. gemes sama critanyaa ...

    ReplyDelete
  17. Ka lagi lagi dan lagi keren sumpah !!!

    ReplyDelete