11 July 2013

Untuk yang terlalu sibuk

Saya menulis ini ketika kamar saya terasa lebih dingin daripada biasanya. Ketika habis menerima seorang teman yang datang ke rumah, malam-malam begini, hanya untuk mengantarkan barang yang saya pesan padanya, dia tak menggubris imbauan saya untuk mengantarkan barang pesanan saya esok hari. Betapa gigih setiap orang berusaha untuk mengejar dunia, tanpa pernah tahu yang tertinggal di rumah; keluarganya.

Saya terpikir untuk menulis ini agar saya dan kamu yang sedang membaca ini, tidak akan pernah menyesal karena melewati segalanya yang harusnya tak pantas untuk dilewatkan. Saya memang cukup keras kepala, saya tidak akan keluar kamar sampai tulisan saya selesai. Sesekali saya keluar untuk mengisi kembali air putih yang habis di gelas saya. Saya juga tak peduli betapa berantakannya kamar saya, betapa buku-buku berserakan di sana sini, boneka-boneka yang terbaring tidak pada tempatnya, alat-alat tulis yang tergeletak tak berdaya, tas serta pakaian yang diletakan tidak pada tempatnya, dan rambut-rambut saya yang rontok di lantai; yang tidak saya sapu selama dua hari. Saat sedang menyelesaikan tulisan, saya egois. Saat terlalu asyik dengan dunia saya, saya tak peduli pada beberapa hal. Mungkin, ini juga yang kita lakukan ketika terlalu asyik dengan pekerjaan, terlalu asyik melakukan yang kita pikir menyenangkan.

Suatu malam, saya sedang menulis cerpen untuk Cerita Horor Kota. Saya sengaja menulis cerita itu malam-malam agar saya merasakan ketakutan dalam diri saya sendiri, agar saya bisa menuliskan rasa takut dengan sederhana tapi benar-benar terasa. Awalnya, saya sendirian di kamar, lalu adik saya masuk ke kamar saya. Jujur saja, kami masih dalam keadaan berkabung, Nenek belum 40 hari kembali ke pelukan Tuhan. Sebagai anak kecil berumur 12 tahun, memang sudah selayaknya dia minta ditemani tidur, karena kamar adik saya dulu pernah menjadi tempat tidur Nenek saya ketika tinggal beberapa hari di rumah saya. 

Saya menolak untuk diajak keluar kamar dan adik saya duduk di tempat tidur saya sambil mengajak saya bicara. Sesekali saya menjawab pertanyaannya, sesekali saya diam dan hanya suara ketikan laptop serta suara pertanyaan adik saya yang tidak menimbulkan jawab. Saat menulis, saya tidak menengok ke arah adik saya barang sedetikpun. Saya juga tidak bertanya-tanya dalam hati ketika adik saya berhenti berbicara. Beberapa jam kemudian, tulisan saya selesai. Saya menutup laptop dan meregangkan badan. Tubuh saya berbalik dan menatap adik saya yang sudah tertidur pulas di tempat tidur saya. Saya menganggap hal itu sangat biasa. Saya membangunkan dia dan mengajak dia ke kamarnya. Saya menemani dia tidur di kamarnya. Sangat biasa.

Beberapa hari berikutnya, entah mengapa malam itu saya ingin membaca ulang hasil draft pertama Jatuh Cinta Diam Diam, memperbaiki kalimat-kalimat yang bagi saya kurang pas, padahal draft tersebut sudah saya kirimkan sebelum saya menulis cerpen untuk Cerita Horor Kota. Saya memutuskan untuk mengerjakan tulisan saya di kamar adik saya. Saya memboyong laptop beserta charge-nya ke kamar adik saya. Pukul 21.00 malam, adik saya bercerita ini itu dan saya tak mampu lagi mendengar celotehannya. Sontak, saya berdiri dari tempat duduk dan mengambil buku Hunger Games, buku yang sebenarnya sudah selesai dibaca adik saya beberapa minggu setelah saya membelikan buku itu untuknya. Saya menyuruh adik saya kembali membaca buku itu dan berhenti menganggu saya dengan celotehannya. Oke. Itu cukup membuat dia diam dan saya tenang membaca tulisan.

Seperti biasanya, saya menulis tanpa memerhatikan keadaan sekeliling saya dan diam yang ditunjukkan adik saya tidak juga menimbulkan tanya. Pukul 03.00 dini hari, saya selesai membaca tulisan tersebut. Saya mematikan laptop dan meregangkan badan. Saya memutuskan untuk segera tidur, ketika berjalan menuju tempat tidur; mata saya diberi pemandangan adik saya sudah tertidur pulas dengan buku Hunger Games di jemarinya. Saya menghela napas dan tidak tahu kenapa saat itu saya ingin menangis. 

Kadang, manusia begitu egois, terlalu tak peduli, pada orang yang setia menunggunya; menunggu untuk ditemani dan diajak bicara. Kadang, kita begitu tak mau tahu, pada yang sabar menunggu.

Untuk,
si bungsu yang setia menunggu.

14 comments:

  1. Sukses terus dan terus berkarya ya kak ,terlalu sibuk tapi jgn lupa ibadah ya :)

    ReplyDelete
  2. Nice kak adenya kasian kak ƍäª di gubris......╬╬ϱϱ˚╬╬ϱϱ˚╬╬ϱϱ˚

    ReplyDelete
  3. bagus bgt . selalu sederhana tp pas bagi pembaca

    ReplyDelete
  4. Selalu menghasilkan hal yang luar biasa dari yang biasa itu Dwitasari :*

    ReplyDelete
  5. sya selalu suka tulisan kakak :) singkat tpi mengena,,

    ReplyDelete
  6. Ketika mata dialihkan olehnya seketika itu kita baru sadar :) dan meyadarinya

    ReplyDelete
  7. tulisannya sangat mengena, bagus sekali kak

    ReplyDelete
  8. Endingnya untaian kata yang manis :)

    ReplyDelete
  9. mungkin ini yang di rasakan istri saya di rumah, menunggu suami plg kerja hanya sekedar bierbincang beberapa kalimat.

    jadi pengen buru2 pulang trus peluk istri

    find me at blognyayandi.blogspot.com

    ReplyDelete
  10. jadi keinget adik saya dirumah. saya terlalu egois. nice story kak

    ReplyDelete
  11. Izin posting ke blog saya kak :)

    ReplyDelete