10 February 2015

Apakah kita akan bertemu lagi? (5)

Lanjutkan petualanganmu, menjawab pertanyaan apakah selama ini yang kamu rasakan #SamaDenganCinta ? Sebelumnya baca: Apakah kita akan bertemu lagi? (4)

6 Januari 2015

Percakapanku dengan Radit cukup menyenangkan setiap harinya. Dia menjadi sosok yang selalu aku tunggu pesannya. Entah mengapa aku merasa setiap harinya ada sesuatu yang menghangat di hatiku ketika Radit hampir setiap hari bercerita tentang kegiatannya, pekerjaannya, hari-harinya; semua hal sederhana itu membuatku merasa— hidup.
Ya, Radit yang hanya bisa kusentuh lewat dunia maya itu ternyata membawa pengaruh cukup luar biasa dalam hari-hariku. Dan, aku sekarang adalah perempuan yang berbeda, perempuan yang merasa memiliki segalanya, perempuan yang merasa dekat dengan salah satu mimpinya. Radit adalah salah satu sosok yang aku dambakan dan aku tunggu, jika tidak bertemu dengannya, mungkin beberapa cerita dalam novelku tak akan pernah selesai. Dia salah satu inspirasiku, napas ceritaku, dia hidup dalam imajinasiku.
Pagi inipun, saat aku masih tenggelam dengan aktivitas liburku, seperti biasanya Radit menyapaku dengan ramah. “Udah bangun? Jakarta hujan terus, jadi males ngantor.”
“Gue baru bangun, Dit. Cibinong juga hujan deras sekarang.” jawabku dengan santai meskipun sebenarnya di dalam dadaku ada ledakan luar biasa setiap kali sedang berbalas pesan dengannya, “Udah sarapan?”
“Udah, makan roti doang.”
Aku tertawa kecil, “Yang penting udah ngisi perut, jangan sampe kelaperan di kantor aja.”
“Lo juga sana. Bangun, mandi, terus sarapan, nanti sakit, lho.”
Aku tertawa sekali lagi, “Nggak sarapan sekali nggak bikin sakit juga kali, Dit. Lo lagi ngapain?”
Selang beberapa menit, aku masih menatap ponsel meskipun Radit tidak langsung membalas chat-ku. Kulirik jam dinding di kamar, waktu telah menunjukan pukul sepuluh pagi. Aku belum mau beranjak dari tempat tidur karena cuaca di luar cukup mendukung untuk melanjutkan tidur yang panjang hingga siang.
Sorry baru bales.” Radit membalas selang sepuluh menit ketika aku mengirim chat terakhir.
“Lama amat.” jawabku singkat.
“Ciye, nungguin, ya, Neng?”
“Nggak, ngapain juga nungguin lo. Kurang kerjaan kali!”
“Haha. Gitu, sih, dia gampang ngambek. Tadi habis dari pantry, ngambil kopi, ngantuk gue.”
“Dit, request, dong, gue.”
“Apaan? Kalau lo minta gue ke Cibinong sekarang buat ketemu lo, gue nggak sanggup karena hari ini full meeting sampe bunting.”
“Lo cowok, Dit, gimana mau bunting?”
“Yaelah, malah dilanjutin. Mau minta apa?”
Aku terdiam sebentar sebelum mengetik pesan, “Jangan bikin orang sering-sering nunggu, dong, minimal bilang lo mau ngapain.”
“Hahaha. Bawa perasaan banget, sih, lo.”
“Namanya juga cewek, Dit.”
“Iya, gue janji nggak bakalan bikin lo nunggu lagi. Sekarang, gue izin off, ya, gue mau kerja dulu.”
“Boleh minta sesuatu lagi nggak?” aku mengulum bibirku dan merasa bahwa aku tidak ingin terlalu lama jika tidak tahu kabar darinya.
“Apa yang nggak, sih, buat lo, Ri?”
“Kalau udah nggak ribet, kabarin, ya. Gue males kalau kangen sama lo. Nggak tahu nyari di mana obatnya kalau bukan dari lo langsung.”
“Dasar anak sastra! Kerjaan lo tiap hari gombalin dosen kali, ya?”
Aku tersenyum simpul ketika membaca pesan Radit. Hari ini akan jadi hari yang menyenangkan bagiku jika diawali dengan percakapan sehangat ini bersama Radit. “Jangan sampe kehujanan, ya, Dit. Semangat!”
Ketika aku mengetik itu, Radit sudah kembali  masuk ke dalam dunia nyatanya dan meninggalkan aku yang menunggu dia kembali datang kemudian menyapaku lagi. Aku memejamkan mata sejenak, membuka kelopak mataku, dan melihat langit-langit kamar. Hampa.
Hanya kesepian dan kekosonganlah yang aku rasakan jika Radit tidak menyapaku. Baru beberapa menit aku rasakan kesepian di kamarku, tiba-tiba ponselku berdering lagi. Tyas, perempuan kuat, managerku, si manis yang mengatur semua jadwal seminarku langsung berbicara tanpa basa basi.
“Woy, gila diteleponin ke BB nggak diangkat. Di BBM nggak bales. Mati suri lo?” Tyas mengawali pembicaraan dengan gayanya yang khas. Ceplas-ceplos dan akrab.
Dia mengembalikan senyumku yang sempat hilang karena Radit, “Gue baru bangun, Yas. Hujan di sini, ngantuk parah. Kemarin ngejar deadline sampe subuh.”
“Lo packing sekarang.” tanggap Tyas tanpa mengindahkan jawabanku.
Packing?” aku membelalakan mata, “Ke mana?”
“Besok buat ngisi workshop, di Jogja.”
“Serius lo? Jogja lagi? Mendadak gini?” aku masih tak percaya dengan ucapan Tyas, “Coba, deh, biarkan gue sadar dari tidur gue dulu, semoga aja ini bukan mimpi, atau mungkin lo kali yang lagi mimpi?”
“Lion Air, jam delapan pagi, besok. Berarti besok lo naik DAMRI jam 5 pagi dari Cibinong City Mall, ya. Sekarang, lo siapin materi.”
“Yas, lo jangan becanda, deh.”
         Tyas masih berbicara dan mengucapkan hal-hal apa saja yang harus aku lakukan, “Pesertanya umum, ya. TOR dan mekanisme penjemputan bakalan gue kirim ke email lo sekarang.”
         “Oke. Tantangan diterima.” aku menghela napas, “Gila lo, Yas, selalu bikin gue jantungan sendiri. Jangan lupa siapkan surat izin buat dikasih ke nyokap gue, supaya dibolehin pergi dan ngisi acara.”
“Iye, aset dan kecintaan Mama! Dasar anak Mama!” Tyas tertawa senang, “Lo emang andalan gue! Semoga Jogja kembali menyenangkan! Cheers!”
Kami sama-sama mengakhiri sambungan telepon. Aku mulai menyadarkan diriku dari kantuk dan berjalan ke meja kerja. Ketika aku membuka laptop, kembali ponselku berbunyi lagi. Kulihat di layar ponsel, nama Radit tertera di sana. Dengan senyum dan mata berbinar seperti biasanya, aku segera meraih ponselku.
“Sari, lagi off, ya?” sapa Radit pendek.
“Nggak, Dit, kenapa?”
“Lo pernah nggak ngerasain sesuatu yang aneh ketika lo nggak saling berkabaran sama seseorang?”
Aku berpikir sejenak, menatap ke laptop beberapa saat, kemudian baru memutuskan untuk membalas pesan Radit, “Pernah, Dit. Dan, itu nggak enak banget.”
“Gue lagi ngerasain hal yang kayak gitu, tapi makin gue lawan, makin perasaan itu bikin gue nggak nyaman. Gila, ya, gue udah 27 tahun dan masih bingung soal yang beginian?”

“Lo percaya nggak, sih, kalau yang lo rasain itu sama dengan cinta?” aku mengetik dengan perasaan campur aduk di hatiku. Aku kangen Radit. Kangen banget.

21 comments:

  1. part ini cocok bgt sm ak..tak berkabar dgn 'penyemangat terbaikku' rasanya seperti ada sebagian nafas yang hilang... -_-
    aku tunggu sambungan ceritanyaa

    ReplyDelete
  2. penasaran sama kelanjutannya :')
    semangat mbak!!!

    ReplyDelete
  3. #SamaDenganCinta #SamaDenganResah, ditunggu kelanjutannya

    ReplyDelete
  4. Ceritanya keren kak, ngena banget:')
    Jdi gak sabar pngen baca kelanjutan ceritanya, di tggu yah kak;)

    ReplyDelete
  5. " lo pernah nggak ngerasain sesuatu yang aneh ketika lo nggak saling berkabaran sama seseorang? " aaaak yaampun:'3

    ReplyDelete
  6. Pas yang terakhir chatnya si Sari "lo percaya ga sih kalo yang lo rasain itu sama dengan cinta?" Ngena banget 😓

    ReplyDelete
  7. w bgt .. selalu nunggu postingan nya mb
    love bgt sm karya" mb dwita..

    ReplyDelete
  8. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  9. Keren mbak ditunggu kelanjutannya.. kalo boleh tau mbak cibinongnya dimana saya juga tinggal di cibinong.😃

    ReplyDelete
  10. kakak ini looo, seneng banget bikin penasaran. ayo lanjut lagi kak. suka bangettt :*

    ReplyDelete
  11. jatuh cinta diam-diam nya favorit bgt kak ;)

    ReplyDelete
  12. omg kak dwitaaaaaa, gregetan saya bacanya, kak. jadi gasabar end-nya kayak gimana :*

    ReplyDelete