11 April 2015

Hujan yang mengobati kemaraumu

Aku mencintaimu dan hal itu bisa kaubaca dari mataku, mata yang tiga tahun lalu menatapmu. Saat itu, aku masih berumur tujuh belas tahun, di mata gadis seusiaku, kamu adalah pria sempurna. Lihatlah kacamatamu, lensa tidak terlalu tebal dengan frame berwarna hitam. Matamu sipit, tapi itu bukan kekurangan bagiku, mataku juga sipit, ya, mata kita sama. Hidungmu mancung dan rasanya aku ingin mendekatkan hidungku dengan hidungmu agar bisa kurasakan hela lembut napasmu. Pipimu tidak tirus, pas dengan rahang yang juga tak terlalu tegas. Bibirmu tipis, sempurna untuk menjatuhkan ciuman pertama.

Aku mencintaimu dan hal itu masih bisa kaubaca hingga saat ini. Saat kita duduk berdua, menatap ramainya Jalan Raya Bogor malam ini. Pada akhirnya, aku bertemu lagi denganmu, pria yang kucari bertahun-tahun lamanya. Mungkin, wajahku terlihat lebih segar karena aku menyembunyikan jutaan peluh, ribuan keringat, ketika terseok-seok kelelahan mencari keberadaan dirimu. Sekarang, kita ada di sini, kamu di kursi kemudi, aku duduk di sebelah kiri, membicarakan masa lalu yang tidak pernah mati.

Aku mencintaimu dan kamu tak akan pernah tahu sosokmu selalu ada dalam novelku. Malam ini, kita bercerita banyak hal, kamu bertanya soal karya-karyaku dan aku berusaha memahami semua pekerjaanmu. Berkali-kali aku melirik ke arahmu, kacamatamu yang memantulkan cahaya lampu jalanan, mengingatkanku pada sosokmu tiga tahun lalu. Waktu kita bertemu di bus menuju Yogyakarta. Cara bicaramu, tawamu, helaan napasmu benar-benar tak berubah. Aku merasakan detak yang sama, kecanggung yang sama, seperti tiga tahun lalu ketika pertama kali aku bertemu denganmu.

Aku mencintaimu dan pembicaraan antara gadis usia 20 tahun dan pria dewasa berusia 27 tahun ini membuatku semakin tak mengerti, apakah kamu juga merasakan hal yang sama? Sekali lagi aku menatap wajahmu, kamu terlalu tampan untuk gadis bodoh sepertiku, gadis yang menghabiskan tiga tahunnya hanya untuk menunggu pria yang tak akan pernah jatuh cinta padanya. Aku menghela napas berat, pertemuan kita kali ini bisa saja bukan karena cinta, mungkin hanya rasa penasaranmu yang ingin tahu apakah aku masih sekanak-kanak dulu, atau lebih menyakitkan lagi mungkin kamu hanya ingin memastikan apakah aku masih ingin dan masih sabar untuk menunggumu?

Aku mencintaimu dan dekat denganmu seperti ini, membuatku semakin sulit untuk bernapas, napasku tersengal seakan ingin tertawa tapi sebenarnya aku menangis. Aku sekarang duduk di samping pria, yang seharusnya aku bisa melakukan hal yang lebih dari sekadar duduk. Harusnya aku sudah berteriak sejak tadi, menangis, bertanya, meminta penjelasan mengapa dia pergi dengan begitu mudah? Mengapa dia pergi tanpa lambaian tangan? Bayangkan saja, gadis tolol ini telah menunggumu selama bertahun-tahun dan kamu tak membiarkan dia menjelaskan apa yang menjadi endapan dalam hatinya.

Aku mencintaimu, sayangnya kamu memperlakukanku seperti gadis bodoh yang jemarinya seakan sudah berada dalam genggamanmu. Kita duduk berdua, di dalam komidi putar yang siap memutar nasib kita. Kamu tertawa kegirangan, sementara aku berpegangan ketakutan-- kebingungan. Saat komidi putar kita berada di atas, aku dan kamu melihat keindahan yang sama, tawa kita mengalahkan seluruh tawa yang paling keras. Lalu, komidi putar kita berangsur bergerak ke bawah. Kamu tiba-tiba keluar, menutup, kemudian mengunci pintu komidi putarku. Kamu pergi begitu saja, tidak memberiku pesan atau nasihat jika aku ketakutan menghadapi putaran permainan ini sendirian. Langkahmu berangsur menjauh dan komidi putar yang awalnya kita naiki berdua, kembali berputar lagi. Aku sendirian di sana, menatap punggungmu yang jauh, dan semakin jauh.

Aku mencintaimu lalu sekarang apa arti pertemuan kita kali ini jika hanya ingin menimbulkan luka di hatiku? Aku tahu gadis itu! Aku tahu siapa saja yang ada dalam percakapan di ponselmu! Jadi, apa maumu menemuiku untuk yang kedua kalinya? Ingin mengajakku bermain komidi putar lagi, menunggu sampai putaran terbawah, lalu meninggalkanku sendirian lagi? Tidak, Tuan, kali ini aku tidak akan membiarkanmu turun dan mengunci pintu komidi putar kita. Saat sampai di putaran terbawah, aku akan memegang lenganmu hingga kamu tak akan sempat kabur. Biarkan komidi putar ini terus berputar, terus berjalan. Biarkan aku pusing dan sempoyongan, selama bersamamu; aku rela untuk mabuk.

Aku mencintaimu dan karena sekarang aku bukan lagi gadis kecil berusia tujuh belas tahun, maka aku siap untuk diajak masuk ke dalam permainanmu. Aku mencintaimu dan karena sekarang aku adalah gadis berusia dua puluh tahun, maka aku akan memberanikan diri menahanmu agar tak lagi pergi. Aku tak peduli siapa perempuan yang lain yang kau dekati, aku tak ingin tahu apakah kamu juga mencintaiku atau tidak, aku tak ingin memahami apa arti peluk dan rangkulmu kali ini, yang jelas aku tak ingin kehilangan kamu untuk yang kedua kali.

Aku mencintaimu dan rasanya tiga tahun menunggumu sudah sangat cukup bagiku. Lihatlah gadis polos ini, gadis yang diam-diam mengagumimu meskipun mungkin kamu hanya hidup dalam angannya. Arahkanlah pandanganmu padaku, aku tahu aku ini hanyalah bumi yang merindukan langit teduh sepertimu, tapi izinkan aku menjadi hujan yang selalu siap mengobati kemaraumu.

2 comments: