05 June 2015

Empat puluh satu hari tanpamu

#SerialTanpamu

Baca sebelumnya: Empat puluh hari tanpamu

Kelas Yoga yang aku ikuti berakhir pukul sembilan malam, sesegera mungkin aku mengganti bajuku, dan segera mencari taksi di jalan sekitaran Margonda. Malam ini, langit Depok bisa dibilang cerah, banyak bintang bertebaran, dan sesekali angin sepoi-sepoi bertiup mesra. Taksi yang aku naiki berjalan tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat, aku memperhatikan jalanan Depok yang masih belum sepi dan terlihat ramai. Dari jendela taksi, bisa kulihat rumah makan kecil tempat dulu kita sering makan sate berdua. Rumah makan itu telah terbakar entah dengan sebab apa, yang kulihat hanya ada garis kuning polisi yang mengelilingi bangunan kecil itu. Lalu, beberapa menit kemudian, kulihat gang kecil tempat kampusmu berada. Beberapa bulan yang lalu, aku pernah menunggumu dengan cemas karena kamu  mengeluh gigimu sakit dan kamu tak bisa menjalankan aktivitasmu. Ya, semua kenangan itu masih segar dan hangat di otakku.

Aku sampai di lampu merah Juanda. Ingat apa yang terjadi di lampu merah ini beberapa bulan yang lalu? Saat detik lampu merah masih menunjukan waktu enam puluh detik, kamu pernah menarik kencang gas sepeda motor Honda CBR-mu dan puluhan mata segera memelototimu. Dengan pukulan manja, aku menyentuh bahumu, kamu tertawa dari balik helm, dan memperhatikan aku yang sedikit kesal dari kaca spion. Tidak berhenti di situ, kamu tiba-tiba menyanyikan lagu Taylor Swift yang berjudul 22, dengan suara lantang. Aku tidak dapat lagi menahan malu, kucubit pinggangmu, dan cubitan itu kausambut dengan tawa yang kencang. Saat lampu merah berganti lampu hijau, kamu menjalankan sepeda motormu dengan kecepatan ekstra, dan menertawai wajahku yang ketakutan saat memelukmu dari belakang. Diam-diam, aku tertawa dalam hati, kapan semua hal bodoh itu terjadi lagi?

Taksi yang aku naiki perlahan melaju menuju daerah Citayam. Aku turut melewati tempat kita biasa membeli kebab. Aku meminta supir taksi berhenti sesat di pinggir jalan karena aku ingin membeli kebab itu untuk orang rumah. Sang pembuat kebab menyapaku dengan ramah dan aku menyebutkan pesanan yang ingin aku beli. Dalam anggukan mantap, dia menanyakan kehadiranku yang sendirian, bahkan dia turut menanyakan pria yang menaiki sepeda motor dengan modifikasi seperti sepeda motor yang dinaiki pembalap Marquez, serba warna oranye dan merah; intinya, dia menanyakan kamu, Bang. Pertanyaan itu aku jawab dengan jawaban seadanya, dengan kebohongan yang tidak akan menyakitiku atau mengangetkan sang penjual kebab. Aku berkata kamu sedang sibuk dan aku terpaksa pulang menaiki taksi. Pembuat kebab itu hanya menanggapi dengan senyum, kemudian membuat kebab yang aku pesan, dan aku duduk menunggu pesanan di bangku yang dulu kita duduki.

Beberapa bulan yang lalu, sambil mendengar suara aliran Sungai Ciliwung dan suara kendaraan yang berlalu-lalang di sekitar kita, saat itu kamu menceritakan candaan khasmu yang kamu ungkapkan dengan dialek Melayu-Bengkulu. Aku tertawa terpingkal-pingkal ketika melihatmu sedang melucu dengan wajah yang datar dan bingung. Kenapa kamu bisa membuatku bahagia bahkan dalam suasana yang begitu sederhana? Saat itu, aku memperhatikan wajahmu dan bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku akan seutuhnya membahagiakanmu. Sayangnya, janji itu terpaksa aku pendam sendiri karena empat puluh satu hari yang lalu; kamu telah memutuskan untuk pergi.

Aku sibuk memikirkanmu, bahkan aku tak tahu bahwa kebab yang kupesan telah selesai dibuat. Kubayar pesanan itu, tersenyum ramah kepada sang pembuat kebab, kemudian menaiki taksi yang sejak tadi menungguku. Taksi mulai memasuki jalan sekitaran Stasiun Citayam yang padat dengan sepeda motor juga mobil. Jalanan sempit itu dipenuhi oleh penumpang yang baru turun dari kereta.

Aku melihat jalan sekitar Stasiun Citayam, jalanan yang begitu akrab denganku, jalanan yang hampir setiap hari aku lewati, dan menyisakan kenangan yang tidak kamu pahami, Bang. Setiap melewati jalan ini, kamu selalu memintaku untuk meletakan tasku di depan tubuhmu dan mengencangkan pelukku di pinggangmu. Sepeda motormu yang agak besar itu cukup lihai untuk menyalip dan melewati beberapa kendaraan di depannya. Kita sama-sama menghela napas lega ketika berhasil melewati jalan itu. Sepeda motormu yang besar itu sebenarnya selalu membuatku ketakutan, aku bisa jatuh kapan pun, aku bisa terlempar dari sana kapan pun, namun entah mengapa ketika memelukmu-- seluruh bahaya dan ketakutan seakan sirna.

Kejadian itu memang tak akan pernah terulang. Lihatlah aku sekarang, aku tidak sedang duduk di atas sepeda motormu. Aku duduk di taksi, dengan pendingin mobil yang lumayan dingin, dan tak mendengar suara bising dari knalpot sepeda motormu. Semua sudah berbeda dan tak ada gunanya mengingat hal-hal yang tidak akan terulang lagi. 

Tidak terasa, aku telah sampai di rumah. Aku membayar tarif taksi dan mengambil semua barangku. Taksi telah pergi sementara aku masih di depan pagar rumahku. Aku terdiam beberapa saat sebelum memasuki rumah. Beberapa detik kemudian, aku menatap tanjakan yang ada di dekat rumahku. Dulu, rutinitas sebelum aku masuk ke rumah adalah aku harus memastikanmu hilang dari pandangan, berkali-kali aku menatap tanjakan di dekat rumahku hingga sepeda motormu tak lagi terlihat.

Aku tahu, sepeda motormu sekarang tidak akan pernah terlihat lagi di depan rumahku, dan tidak akan pernah muncul di tanjakan itu. Tapi, entah mengapa, aku masih berharap kamu ada di sana. Aku masih berharap bisa mendengar suara knalpot sepeda motormu yang bising. Entah mengapa, aku masih berharap bisa menatap punggungmu yang menjauh dari pandangan. Entah mengapa, aku masih berharap bahwa kata pisah yang kamu ucapkan hanyalah candaan, dan sesegera mungkin kamu akan tiba-tiba hadir di depan rumahku, memakai kemeja yang membuatmu terlihat semakin tampan, dan menghadiahkanku sebuah pelukan karena selama empat puluh satu hari ini; aku telah bertahan.

Tapi, masa iya, sih, becanda bisa sampai empat puluh satu hari? Terlalu lama untuk ukuran becanda. Namun, kalaupun perpisahan kita ini sungguh hal yang nyata, setidaknya aku masih ingin berharap bisa memelukmu semalam suntuk. Tak apa jika semalam suntuk kamu merokok habis-habisan, tak apa aku sesak napas karena asap rokokmu yang terbang membabi-buta di dekatku, tak apa jika aku harus masker rambut ke salon karena rambutku yang jadi bau tak sedap akibat asap rokokmu, tak apa jika kamu mau melakukan hal sesukamu-- asalkan aku bisa terus memelukmu, kapanpun aku mau.


dari perempuan,
yang hidupnya berhasil kaubuat--
berantakan.

Baca selanjutnya: Empat puluh dua hari tanpamu

2 comments:

  1. aaah ngena banget kisah nya .. saat putus dan masih memikirkan mantan :)

    ReplyDelete
  2. Ko sama sih ceritanya, yang berbeda hanya waktunya aku sudah 1 tahun 3 bulan lebih masih memikirkan dia.. iyah dia yang tak akan pernah kembali lagi

    ReplyDelete