Aku sudah
tahu isyarat ini, Wanita tidak menyukaiku. Aku heran kenapa perempuan tolol
dengan sikap kekanak-kanakan itu harus diberi nama Wanita. Padahal, sikapnya
seperti anak kecil, ia tidak seperti wanita dewasa. Dia, kekasih Wanita,
menatapku dengan wajah kebingungan, sudah kuduga, Dia akan melanggar janjinya
lagi.
“Aku
mau mengerjakan tugas bersama....”
“Oke,
tugasnya gue ajadeh yang ngerjain, Di. Enggak susah-susah banget kok. Gue balik
sendiri aja ya. Selamat bersenang-senang.”
Dia,
seperti biasanya membiarkan Aku pergi tanpa pernah mengejarku. Ia selalu
membiarkanku berjalan sendiri, pilihan utamanya adalah menemani kekasihnya. Aku
selalu berjalan dan bernapas sendirian. Aku menatap punggung Dia yang semakin
menjauh, jemari wanita itu ada di genggamannya. Tatapanku berubah jadi nanar,
bukan karena terik matahari, tapi karena keinginanku yang tak kunjung terjadi. Aku
juga ingin berjalan dengan mengenggam tangan Dia. Mimpi yang kemudian segera
jadi basi. Tak mungkin. Aku berjalan menjauh, semakin jauh.
Pipiku basah.
***
“Gue
sebenarnya juga lelah, tapi mau gimana lagi?”
“Tapi,
elo bisa memilih kan, Di.”
“Apa
yang harus gue pilih?”
“Memilih
yang harusnya elo perjuangkan dan harusnya elo tinggalkan.”
“Meninggalkan
Wanita?”
Aku terdiam.
“Gue
mau tapi gue enggak bisa.”
“Pacaran
bukan pengadilan, elo enggak dituntut untuk mengaku bersalah. Wanita sudah
kelewatan. Gadis tolol itu menganggap gue adalah saingannya. Apa gue berusaha
merebut lo?”
Kali ini,
Dia terdiam. Kesunyian terisi oleh suara sambaran petir dan gesekan air hujan
dengan atap rumah. Hujan deras sekali. Ruang tamu rumah Dia dingin sekali. Dia menggeser
posisi duduknya, hingga sikunya menyentuh siku tanganku.
“Di
luar sana, pasti ada seseorang yang bisa memperlakukan elo lebih baik daripada
perlakuan Wanita. Menyelamatkan elo dari rasa lelah lo.”
Tatapan
Dia semakin serius, telinganya seakan meneliti desahan perkataanku.
“Suatu
saat nanti, pasti akan ada seseorang yang bisa mencintai, menghargai, dan tulus
mencintai lo melebihi cinta yang Wanita berikan buat lo.”
Dia kembali
mengubah posisi duduknya. Dengan gerakan cepat, ia segera memelukku. Sangat dekat.
Sangat dekap.
“Ada
satu hal yang tidak gue dapatkan dari Wanita, tapi hal itu ada di dalam diri
lo.”
“Apa,
Di?”
“Pelukan
lo selalu lebih hangat daripada pelukan dia.”
***
“Sayang,
pulang sama aku ya.” Wanita bergelayut manja di pundak Dia, ia segera merenggut
jemari Dia dengan kencang. Mereka bergenggaman tangan, dengan paksaan.
“Aku
mau ngerjain tugas dulu, Wanita.”
“Cuacanya
panas banget, aku enggak kuat jalan, Di Sayang.”
Tatapan
Wanita semakin menusuk-nusuki perasaanku. Aku membalas tatapan itu dengan
tatapan yang kalah tajam. “Dia mau ngerjain tugas sama gue.”
“Tugas
mulu, tugas apa lagi?” nada Wanita meninggi.
“Oh, sorry kalau tugas elo enggak sebanyak
tugas kita. Kita kan beda jurusan walaupun sama fakultas.”
“Oh,
gitu ya? Dia kan pacar gue, kenapa elo sewot?”
“Uh,
Wanita! Dia pacar elo? Tapi, selama ini gue kira Dia cuma jadi supir elo tuh.”
Wajah Wanita
memerah, tangannya mengepal. Tatapannya kembali mengiba ke arah Dia. “Kamu
pulang sama aku kan?”
“Enggak,
aku mau ngerjain tugas dulu.” ucap Dia sambil berusaha keras melepas cengkraman
jemari Wanita. “Kamu pulang sendiri, hati-hati ya.”
Aku tersenyum
puas sambil menatap sinis ke arah Wanita. Nikmati
bagianmu, Wanita manja!
Dia berjalan
dengan langkah santai bersamaku. Ia berjalan tepat di sampingku. Jemarinya rapat
dengan jemariku. Jemari kita saling bergenggaman.
Mengenggam
tangan Dia ternyata bukanlah mimpi. Tapi... kenyataan.
Blognya Bagus mbak..
ReplyDeleteUhhhhh.. :)) Suka ceritanya.
ReplyDelete