10 November 2012

Sebelum Adzan Magrib

                Stasiun UI masih terlihat begitu ramai, jam kepulangan kantor, wajar. Di setiap sudut peron masing-masing orang sibuk dengan kepentingannya sendiri. Asap rokok turut mengepul di udara, menyentuh hidung calon penumpang kereta. Ada yang mengibaskan tangannya, ada yang pasrah pada aroma tembakau yang menyengat bagi indra penciumannya.

                Aku berlari tergesa-gesa mendekati seorang pria yang duduk manis di bangku besi memanjang. Bangku berwarna kuning, tempat kita menyempatkan waktu untuk bertemu. Hanya di waktu-waktu seperti ini kami bisa saling bertatapan mata, berbicara, serta mengungkapkan rasa. Hanya di tempat ini, aku dan dia berani menjadi dua orang yang saling jatuh cinta; tanpa mendengar bisikan sinis dari banyak orang yang mencoba menghakimi kita.
                “Maaf, aku baru sampai di sini. Tadi mata kuliahnya sampai sore.”
                “Enggak apa-apa kok, yang penting aku bisa lihat kamu.”
                Senyum itu adalah senyum yang selalu mencairkan rasa ketakutanku. Di stasiun ini, meskipun di tempat umum, tetap saja kami bersembunyi dari pasang mata yang mengawasi.
                “Aku bawa air minum, kamu haus?”
                “Hari ini kan hari Kamis, aku puasa.”
                “Oh, maaf. Bagaimana hari ini, menyenangkan?”
                “Sangat menyenangkan, terutama jika aku bisa bertemu denganmu.”
                “Aku kangen.”
                “Aku juga.”
                Tatapan matanya menyentuh bola mataku yang membulat. Dia tidak menyentuhku tapi perkataan dan senyumnya sudah sangat menghangatkan aku.
                “Bagaimana harimu, menyenangkan?”
                Aku mengangguk pelan. “Tapi, karena telat, aku jadi tidak bisa lama-lama melihatmu.”
                “Besok masih ada waktu.”
                “Habis kamu sholat Jumat?”
                Dia tertawa misterius. “Habis aku salat Jumat bukankah kamu ada latihan paduan suara di gereja?”
                “Oh, iya, berarti besok kita bertemu seperti biasa saja, di sini.”
                Jarum jam bergerak sangat cepat saat aku menghabiskan waktu bersamanya. Ketika adzan Magrib menggema, kereta commuter line berjalan pelan mendekati stasiun.  Aku bersiap-siap menaiki gerbong kereta. Di sampingku, kudengar bibirnya lirih mengucap “Alhamdulillah.”
                Sudah jam buka puasa.  Dengan tatapan mohon pamit pulang, aku tergesa-gesa meninggalkan dia di peron sendirian.
                Aku sudah berada di dalam gerbong kereta, ia masih lurus-lurus menatap ke arah kalung salibku. Aku melambaikan tangan.
                Tak perlu sedih karena tak ada perpisahan. Besok kami bertemu lagi, sebelum adzan magrib.

18 comments:

  1. terharu..keren ini ceritanya :)

    ReplyDelete
  2. Keren kak dwita:')

    ReplyDelete
  3. Kak dwita :') menyentuh sekali ceritanya :-)

    ReplyDelete
  4. cerita yang ini buat aku merinding :).

    ReplyDelete
  5. aaaww cinta beda agama tp masih saling menghormati, menyentuh sekali ceritanya *hiks

    ReplyDelete
  6. ini yang dijadikan film sama hanung? terharu sekali :')

    ReplyDelete
  7. klauu di lanjutiin bguus nii
    kereen bgt,,,

    ReplyDelete
  8. this is my story !!
    bahkan dialog di stasiun kereta pernah terjadi pada kami ..
    yg berbeda hanya kami berbalik, aku wanita muslim dan dia lelaki protestan
    benar ! itu bukan hal yg mudah .. dari awal kami sudah tau ..
    tapi kami yakin ada jalan . setelah hampir 2 tahun berjuang ..
    memang benar tuhan tidak tidur ...
    satu persatu jalan sudah mulai terbuka ..
    ayahku sudah mulai merestui .. mamanya sudah mulai membuka hati ..
    tidak ada yang mustahil untuk bahagia
    bukan berarti beda tak berhak untuk bahagia :)

    ReplyDelete
  9. cerita yg mengharukan mbak , aduh aku ingin sekali buat cerpen tapi belum ada waktu, hmm mampir ya gan di blog ku
    http://adenminang.blogspot.com/2012/06/tanpa-seorang-ibu.html

    ReplyDelete
  10. bagus banget cara penulisan nya mengalir seperti air. itu yg ku suka. biar pun sedikit ceritanya tapi dapet ...

    ReplyDelete
  11. Bisakah kami bersatu dalam perbedaan yang tak dapat dipersatukan?��

    ReplyDelete