Aku berusaha
menghindari udara Busan yang dingin malam ini. Seharusnya aku sudah di apartemenku,
berendam air hangat, bersama dengan lilin aromatherapy
yang kubakar; tapi, sekarang aku di sini. Duduk manis, menatap orang-orang yang
masih tergopoh-gopoh melawan udara dingin di luar. Restoran ini memang cukup
ramai, sebenarnya aku tak terlalu suka tempat seperti ini, namun jika di
apartemenku di sana jauh lebih mengenaskan. Sepi. Aku tak punya teman bicara.
Di mejaku
sudah tersedia bibimbap dan berbagi
macam banchan, terlalu banyak jika
dimakan oleh satu orang. Aku merasa bosan, pandanganku mengarah pada meja
kasir. Pohon cemara berukuran sedang tengah menyambut para tamu yang baru
datang dengan kerlap-kerlip lampu natal. Hiasan malaikat-malaikat kecil
bergelantungan di daun-daun pohon cemara. Keramaian ini tak menghangatkan
hatiku yang beku. Tatapanku melirik ke gantungan kunci apartemenku yang belum
kumasukkan ke dalam tas. Ah... batik. Aku rindu rumahku.
Dalam keadaan
terdiam seperti itu, seorang pria memasuki restoran dan matanya melirik ke arah
bangku yang hampir semuanya terisi, kecuali bangku yang ada di hadapanku. Ia berjalan
mendekati bangku yang telah kududuki.
“Annyeong haseyo.” ucapnya pelan,
suaranya beradu dengan tawa membahana pengunjung restoran yang sibuk menyantap
makanan. Ia langsung melirik ke arah gantungan kunci apartemenku. Batik. Senyumnya
tipis, tapi cukup mencuri perhatianku. “Indonesia?”
Aku membalas
sapaan itu dengan anggukan pelan.
“Saya boleh
duduk di sini, ya?”
Aku mengangguk.
Sekali lagi. Dengan senyum seadanya, aku benci bicara dengan orang asing.
“Pesanan
anda sama seperti pesanan saya.”
“Oh...”
tanggapku datar, aku menegak soju
dengan cepat, kemudian nenarik napas perlahan, mengembuskannya dengan pelan,
melepas rasa bosan.
“Anda
peminum?”
“Untuk
mengundang rasa hangat di tubuh.” jawabku sekenanya, aku mulai tidak nyaman
ditatap dengan tatapan seperti itu. Ada kilatan yang berbeda di matanya, dan
tatapan itu sungguh menganggu konsentrasiku.
“Kenapa
sendirian?” tanya pria itu lagi, kali ini ia sambil meneliti motif batik di
gantungan kunci apartemenku. Ketelitiannya berkurang ketika pelayan membawakan bibimbap dan berbagi macam banchan pesanannya.
Tatapannya
yang hangat sedikit menyulutkan rasa kebencianku terhadap orang asing,
nampaknya dia juga bukan orang jahat. “Biasanya saya ke sini bersama dengan
teman-teman saya, namun mereka sedang berada di Seoul, liburan.”
“Anda
dibiarkan sendirian di kota pelabuhan seperti Busan ini?”
Aku tersenyum
kecut. “Sendirian tak berarti kesepian.”
Ia mengangguk,
entah pertanda setuju atau ingin cepat-cepat mengakhiri pembicaraan denganku. Aku
mencoba mengalihkan pandanganku dari wajah pria itu, sambil sesekali meneguk soju. Tapi, entah mengapa, semakin aku
tak menghiraukannya, semakin aku ingin menatapnya. Sebelum pria ini datang, soju di lidahku terasa begitu hambar,
namun setelah pria ini menyapaku; rasanya soju
yang kuteguk jauh lebih memiliki rasa. Aku mencuri pandang ke arahnya ketika ia
sibuk melahap bibimbap dan banchan. Tidak terlalu jelek dan tidak
terlalu tampan, cukup manis untuk ukuran pria Indonesia di kota yang
pelabuhannya selalu sibuk ini. Kulitnya sawo matang. Hidungnya tak terlalu macung
tapi sangat pas dengan tulang pipinya yang tak terlalu tirus. Matanya terlihat
seperti mata orang yang lelah, namun kilatan di dalam sana selalu jelas kutangkap
setiap kali aku menatapnya.
“Apartemen
anda di daerah mana?”
“Wonjin
Tech.”
“Bukankah
itu dekat dengan pantai? Pantai apa ya? Pantai berpasir putih, kalau tidak
salah.”
“Pantai Songjeong, sebelah timur Haeundae. Anda tahu banyak tentang Busan ternyata.”
“Harus banyak tahu, dan memang
harus banyak mengenal, dengan mengenal maka ada peluang untuk mencintai.”
“Anda sulit mencintai Korea? Makanya,
harus berusaha keras?”
“Pesona Indonesia masih begitu
melekat dalam ingatanku, dan bagaimanapun caranya, Indonesia tetap menjadi
kecintaanku. Di samping rasa cinta itu, aku harus jatuh cinta pada negara
orang, Korea. Aku sudah jatuh cinta pada Indonesia, tapi pada Korea, aku masih perlu
berusaha untuk jatuh cinta padanya.”
Aku tersenyum tipis karena
kebingungan menanggapi pernyataannya.
“Pantai itu mengingatkan saya
dengan salah satu pantai di daerah Gunung Kidul...”
“Pantai Sundak!” aku menebak, ia
ikut membelalak.
“Anda tahu banyak tentang
pantai.”
“Ya, memang beberapa hal di
Busan banyak mengingatkan saya pada Indonesia, dan hal itu membuat saya sedih,
saya harus menerima kenyataan bahwa saya tidak sedang berada di Indonesia.”
“Busan sangat ramai, tapi entah
mengapa saya merasakan hal yang anda rasakan, sering merasa kesepian, dan jarang punya teman ngobrol.”
“Saat kesepian, anda tak bisa
memilih orang mana yang bisa anda ajak ngobrol.”
Anggukannya pertanda menyetujui
pernyataanku. Pembicaraan kami mengalir dengan begitu saja. Sementara waktu
bergerak dengan cepat. Dia berasal dari Surabaya, juga senang berpetualang. Ia dan
aku mungkin senasib, sama-sama tak menduga akan bekerja di sini. Aku seperti
mendapatkan teman baru di dalam dirinya. Tak selamanya orang asing akan terasa
asing, bisa saja ada seorang teman lama dalam kehadiran sosok orang asing.
Aku berbicara sambil menatap
matanya, sesekali meneguk soju yang
rasanya lebih menyenangkan di lidahku. Aku tak pernah merasakan soju yang hangat dan menyenangan seperti
ini di lidahku, sampai pada akhirnya pria ini menyapaku secara tak sengaja.
“Setiap mendekati tahun baru,
aku selalu berpikir keras tentang liburan dan pulang ke Indonesia, namun
rasanya hal itu sangat sulit terwujud.”
“Di sini, kita sudah seperti
orang Korea, mengejar banyak hal, banyak tujuan, sampai-sampai kita lupa pada
kebahagiaan sendiri.”
“Aku enggak mau stress, Busan
menyenangkan tapi karena terlalu membahagiakan, rasanya tak ada lagi kejutan. Datar.
Mudah ditebak. Begini-begini saja.”
Kata ‘saya’ dan ‘anda’ mulai
bergeser menjadi ‘aku’ dan ‘kamu’. Pertanda percakapan kami mulai dekat,
menyentuh sudut-sudut hati kecil yang awalnya tak tersentuh. Suara pria ini
beradu merdu dengan lagu Byul yang diputar oleh pemilik restoran, entah mengapa
saat lagu ini terdengar, para pengunjung restoran tak lagi riuh seperti tadi,
mereka terlihat menikmati lagu yang diperdengarkan.
I Think I love you
keurun-gabwayo. I'm falling for you nan mollah-jiman. Now I need you eonusaenka
nae mam kipun -koseh aju. Kugeh jaripan gudaeui mosubeul ijen bowayo.
Aku menikmati
lirik lagu itu, dan berusaha memaknai dalam hati. Soju yang kuminum tetap terasa menyenangkan, pria ini telah
mengubah rasa soju yang hambar
menjadi lebih memiliki rasa tersendiri di lidahku.
Ada panggilan
alam yang memaksaku harus ke toilet, aku pamit meninggalkannya beberapa saat. Sebenarnya,
aku juga tak ingin meninggalkannya walaupun hanya untuk beberapa saat. Sesampainya
di toilet, aku bercermin, cukup lama, dan bahkan aku heran melihat pipiku
bersemu merah. Aku melenggang mendekati meja dan bangku yang tadi kududuki
bersama pria itu, namun kosong. Pria itu tak ada di posisinya semula.
Aku
mengulum bibir, tersenyum kecut. Hanya ada beberapa piring dan beberapa gelas soju yang isinya belum semuanya habis. Juga
ada uang yang jumlahnya cukup untuk membayar semua makananku dan makanan pria
itu. Aku kecewa setengah mati. Langkahku terseok-seok menuju kasir, membayar
makananku dan makanan pria itu, beserta soju
yang tadi kuminum.
Aku keluar
dari restoran, dan cuaca di luar langsung menyemburkan hawa dingin. Aku merapatkan
mantelku juga mengalungkan syalku. Musim ini, udara Busan memang dingin. Tapi, baru
kali ini aku merasakan udara Busan yang sangat dingin.
bersambung Perlukah Aku Mengetahui Namamu? (end)
haha gantung, ga sabar baca sambungannya :)
ReplyDeletekak dwita!!!!!!!! :')
ReplyDeletePengen banget baca lanjutannya kak
ReplyDeleteaaaaaaasshh,kece ceritanya :')
ReplyDeletepenasaran :)
ReplyDeletelanjutannya kapan? penasaran Euyyy^^,
ReplyDeletemenarik, kapan lanjutannya di post??
ReplyDeletedwita, ayo lanjutkan ceritamu. penasaran nih... aku rindu postingan2 barumu :)
ReplyDeletewow karya-karya tulisan kamu keren dan bikin aku penasaran untuk ingin mengikuti cerita-cerita yang kamu buat.
ReplyDeleteaku hobi banget baca.. cerita-cerita kamu gaya tulisannya simple tp wow gimana gthu.. pengen deh menulis kaya kamu..
wooww. keren abiss ._.
ReplyDeletePenasaran ama lanjutannya niehh...
ReplyDelete:-)