4 Januari 2015
Beberapa hari yang lalu, aku satu
pesawat dengan Radit, tapi aku bahkan sama sekali tak berani menyapanya ataupun
menyentuh bahunya. Aku terlalu lemah untuk melakukan hal-hal yang bagiku
terlalu berani itu. Dan, hari ini, aku sudah di sini, di langit Cibinong yang
dingin dan sepi. Mendung sejak pagi hari membuat aku enggan meninggalkan kamar.
Berhari-hari, aku tidak membalas pesan Radit, rasanya aku sudah cukup tersakiti
karena peristiwa kemarin, dan aku tak punya lagi alasan untuk melanjutkan
perjuanganku untuk menunggunya.
Aku sedang duduk diam di depan
laptopku, memikirkan pendalaman karakter yang harus aku tulis tentang tokoh
terbaruku dalam novelku berikutnya. Berkali-kali aku mengkombinasikan banyak
sifat dan karakter untuk tokoh rekaan yang aku buat, setelah mendapatkan
karakter yang bagiku pas dan cukup, aku mulai menuliskannya. Untuk memantapkan
kerja kerasku hari ini, aku meraih gelas berisi air putih yang tidak lagi
hangat di dekat meja kerjaku, aku meminum air putih tersebut untuk melancarkan aliran
oksigen di otakku.
Ketika aku sibuk memikirkan diksi yang
tepat untuk paragraf novelku, ponselku berbunyi sekali, tanda ada chat yang
masuk. Aku melirik, ke layar ponsel, dan nama Radit tertera di sana. Nama itu
seketika membuat konsentrasiku buyar, aku memandang ponselku yang layar masih
menyala, beberapa detik masih kupandang, bahkan sampai layar itu mati dan
menggelap. Aku menghela napas berat dan berusaha sebisa mungkin melanjutkan
tulisanku.
Aku menggerakan kembali jemariku di
atas keyboard dan ponselku berbunyi lagi. Sebisa mungkin, mataku tak melirik ke
layar handphone karena aku tak mau tahu siapa sosok yang mengirimiku pesan.
Untuk ketiga kalinya, ponsel itu kembali berbunyi, dan aku memberanikan diri
untuk melirik ke ponselku.
“Gue kangen sama lo.” tulis Radit di
kotak chat.
Aku membaca pesan itu sebentar, kemudian menutup
ponselku lagi,
“Kenapa setiap gue chat cuma lo baca doang? Gue
ngelakuin kesalahan apa, ya?”
“Dit, gue juga kangen sama lo.” aku ragu dengan
tulisanku sendiri, kemudian aku menghapus kembali chat yang harusnya aku kirim
itu.
“Ceritain, deh, ke gue salah gue di mana.” Radit
kembali mengirim chat sekali lagi, padahal aku belum membalas chat-nya di awal.
“Hola, Dit. Sorry gue baru nongol lagi, banyak
kerjaan, nih, dan tugas kampus.”
“Lho, UI belum libur?”
Aku terdiam sebentar, bertanya-tanya dalam hati,
“Lo tahu gue anak UI?”
“Di profile
lo ada kali. Jurusan apa emang?”
“Sastra Indonesia.” jawabku pendek.
“Gue punya, tuh, temen anak sastra.”
“Really?”
sebenarnya aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak menanggapi Radit, tapi aku
tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku pun juga merindukannya.
“Namanya Dwitasari, pernah bikin film kayaknya.”
Aku tergelak dan terdiam, aku tak tahu
maksud Radit menanyakan hal ini padaku. Aku terdiam sebentar, berpikir beberapa
saat untuk menjawab pertanyaan Radit.
“Lama, deh, balesnya. Lo kenal?”
Jemariku masih menahan agar tak
membalas pesan Radit, tapi aku mencoba untuk menguatkan hati, “Nggak kenal,
nggak terkenal kali.”
“Masa nggak kenal? Atau jangan-jangan
lo kali yang nggak gaul. Hehehe.” canda Radit dalam percakapan kami.
Setiap menulis “hehehe” aku
membayangkan wajah Radit yang benar-benar tertawa di depanku, suara tawa yang
bisa saja menghipnotisku pada peristiwa tiga tahun yang lalu.
“Iya, gue nggak kenal, anak sastra juga
banyak kali. Masa gue kenal semuanya, gila aja.”
“Lo itu lucu, Ri.”
Aku menaikan sedikit alisku karena
bagik percakapan berubah jadi menyenangkan, aku memutuskan untuk berbaring di
tempat tidurku dan meninggalkan meja kerjaku. “Lucunya di mana, Dit?”
“Setiap ngomong sama lo, gue ngerasa de
javu. Gue seperti ngomong sama seseorang yang pernah gue temui, gue kenal,
kayak temen lama aja.”
“Gue emang orangnya asik dan enak
diajak ngobrol, jadi lo maklumin aje, hehehe.” tanggapku dengan bumbu candaan.
Aku menghela napas, seandainya Radit
tahu bahwa dia sedang bercakap dengan seorang perempuan yang tiga tahun lalu
pernah berbaring di dekat dadanya, seandainya dia tahu bahwa aku adalah
perempuan yang menunggu pertemuan ini selama bertahun-tahun. Ah, seandainya….
“Atau mungkin kita emang pernah kenalan
sebelumnya, ya? Atau mungkin lo reinkarnasi dari sesuatu yang dulu pernah ada?”
“Ngawur lo, Dit. Sadar lo. Mimpi mulu.
Masih ngantuk emang?”
“Cucana Cibinong bikin ngantuk banget.
Mumpung gue juga libur kerja, nggak ada meeting.”
“Oh, iya, lo belum cerita, kerjaan lo
apa emang?”
“Gue?” jawab Radit enteng dalam kotak chat, “Cuma manager biasa, di salah satu
perusahaan pembasmi hama sawah.”
“Well,
sounds good, sih.” dengan santai aku turut menyamangati Radit, “Semua yang
pengin ada di bagian lo sekarang mungkin masih pengangguran atau bahkan kerja
di tempat yang nggak dia inginkan.”
Kalau boleh sedikit bercerita bagaimana
perasaanku saat mendengar Radit telah menjadi seorang manager, sebenarnya ada
banyak ledakan di hatiku. Aku jadi memutar ulang peristiwa tiga tahun lalu.
Kepalaku yang masih bersandar di bahu
Radit tidak bergerak sedikitpun. Bisa kudengar detak jantung Radit yang tetap
pelan dan tenang kala itu, “Kamu kuliah di jurusan kayak gitu emang tahu
bakalan jadi apa?”
“Kuliah di mikrobiologi pertanian
kerjanya jadi manager, sih, maunya. Aku mau kerja di perusahaan pemberantas
hama di sawah gitu.” Radit menjelaskan dengan mantap cita-citanya ke depan.
“Emang cita-cita kamu apa?” Radit balik
bertanya, “Udah kebayang belum?”
“Udah, sih, pengin jadi penulis.”
Mendengar jawabanku, Radit sedikit
tertawa, “Penulis, kok, ambil jurusan SMA malah IPA? Ambil IPA harusnya jadi
dokter, insinyur, peneliti?”
“Aku ambil IPA bukan karena suka
matematika, fisika, kimia, biologi, dan temen-temennya, sih.”
Radit mengela napas, “Terus apa?
Disuruh Papa? Hahaha.”
Aku mencubit lengan Radit, “Pertama,
disuruh Papa. Kedua, biar keren. Penginnya, sih, ambil IPS, tapi Papa bilang ambil
IPA aja. Aku ngikut.”
“Polos banget, sih, kamu.” jemari Radit
meraih rambutku, “Kalau gitu nanti pas kuliah jangan ikutin maunya Papa lagi,
ya, ambil jurusan yang kamu mau.”
“Durhaka, dong?” tanyaku dengan wajah
tak percaya, “Papaku pinter, lho. Teknik Sipil, UGM, kampusnya sama kayak
kampusmu.”
“Seriusan?” tanya Radit selang beberapa
detik, “Pinter banget pasti Papamu, ya? Jurusan favorit, sih, itu.”
“Iya, dong, anaknya makanya pinter.
Pria berkacamata yang jaraknya hanya
beberapa sentimeter dari wajahku itu merangkulku di tengah dinginnya pendingin
udara bus. Ah, sudah tiga tahun dan aku masih mengingat semua, semua yang
mungkin telah Radit lupakan. Intinya, hal yang membuat aku terharu adalah Radit
telah menjadi seseorang yang dia cita-citakan dan aku telah menulis enam buku
hingga saat ini. Ya, waktu bergerak dengan cepat, aku dan Radit berubah jadi
sosok yang (bisa dibilang) dewasa.
Aku tak tahu apakah Radit mengingatku
atau tidak, tapi dari mana dia tahu bahwa Dwitasari adalah seorang penulis?
Dari mana Radit tahu bahwa Dwitasari berkuliah di jurusan sastra? Dari mana
semua informasi itu Radit temukan?
“Masa iya, Ri, lo nggak kenal
Dwitasari?” tanya Radit sekali lagi.
Aku terdiam lagi.
BERSAMBUNG ke Apakah kita akan bertemu lagi? (5)
Mengagumi itu indah,memang sangat indah.. tapi memiliki pasti akan sangat sangat sangat indah,bukankah perasaan itu hanya kita yang merasakan ini. Apa yang namanya berjuang dan mereka tidak akan mengerti apa yang selalu kita harapkan.. 😔
ReplyDeleteLanjut kaaak. bikin pnasaran ceritanyaa :')
ReplyDeletewow, keren kaka, selalu menunggu kelanjutannya :')
ReplyDeleteLanjot
ReplyDeleteIya nunggu lanjutan ceritanya, ini gue banget :'(
ReplyDeletemantep
ReplyDeleteAyo dong kelanjutannya :)
ReplyDeleteCerita kka bnyak menginspirasiku gmn rasanya mengagumi sseorg. aku mengagumi sseorg hmpir 5thun ini rasanya nyiksa
ayo dong kelanjutannya :)
ReplyDeletecerita kka banyak menginspirasiku. mengagumi seseorang bertahun-tahun tuh ga gampang itu nyiksa banget :')
ayo dong lanjutannya :)
ReplyDeletecerita kka banyak menginspirasi. mengagumi seseorang bertahun-tahun tuh ga gampang :')
ayo dong lanjutannya :)
ReplyDeletecerita kka banyak menginspirasi. mengagumi seseorang bertahun-tahun tuh ga gampang :')
ayo lanjutannya :)
ReplyDeletecerita kka banyak menginspirasiku. mengagumi seseorg bertahun-tahun itu bikin nyesek
kerennnn (y)
ReplyDeleteditunggu lanjutannya kaaaaaaa
lanjutuut kaaak penasaran inii :3
ReplyDeleteyang baca aja menghela nafas mulu, jadi posisiin diri jadi si sari :(
ReplyDeleteDitunggu lanjutan ceritanya :) tulisan kakak bagus
ReplyDeleteka dwita ditunggu lanjutannya, udah gak sabar pengen baca kelanjutan ceritanya
ReplyDeleteGue bukan orang yg seneng baca sebelumnya, tapi dengan banyaknya penulis indonesia yg keren plus berbakat abissss. Gue makin seneng baca karya2nya :)
ReplyDeleteSukak kali sama dialog2nya. Apalagai pesan2 radin dan sari . Next nnti buat cerita yg drama2 gitu ya kak , yg bnyak dialog2nya :)
ReplyDelete