03 February 2015

Apakah kita akan bertemu lagi? (4)

Lanjutkan petualanganmu, menjawab pertanyaan apakah selama ini yang kamu rasakan #SamaDenganCinta ? Sebelumnya baca: Apakah kita akan bertemu lagi? (3)

4 Januari 2015

         Beberapa hari yang lalu, aku satu pesawat dengan Radit, tapi aku bahkan sama sekali tak berani menyapanya ataupun menyentuh bahunya. Aku terlalu lemah untuk melakukan hal-hal yang bagiku terlalu berani itu. Dan, hari ini, aku sudah di sini, di langit Cibinong yang dingin dan sepi. Mendung sejak pagi hari membuat aku enggan meninggalkan kamar. Berhari-hari, aku tidak membalas pesan Radit, rasanya aku sudah cukup tersakiti karena peristiwa kemarin, dan aku tak punya lagi alasan untuk melanjutkan perjuanganku untuk menunggunya.
         Aku sedang duduk diam di depan laptopku, memikirkan pendalaman karakter yang harus aku tulis tentang tokoh terbaruku dalam novelku berikutnya. Berkali-kali aku mengkombinasikan banyak sifat dan karakter untuk tokoh rekaan yang aku buat, setelah mendapatkan karakter yang bagiku pas dan cukup, aku mulai menuliskannya. Untuk memantapkan kerja kerasku hari ini, aku meraih gelas berisi air putih yang tidak lagi hangat di dekat meja kerjaku, aku meminum air putih tersebut untuk melancarkan aliran oksigen di otakku.
         Ketika aku sibuk memikirkan diksi yang tepat untuk paragraf novelku, ponselku berbunyi sekali, tanda ada chat yang masuk. Aku melirik, ke layar ponsel, dan nama Radit tertera di sana. Nama itu seketika membuat konsentrasiku buyar, aku memandang ponselku yang layar masih menyala, beberapa detik masih kupandang, bahkan sampai layar itu mati dan menggelap. Aku menghela napas berat dan berusaha sebisa mungkin melanjutkan tulisanku.
         Aku menggerakan kembali jemariku di atas keyboard dan ponselku berbunyi lagi. Sebisa mungkin, mataku tak melirik ke layar handphone karena aku tak mau tahu siapa sosok yang mengirimiku pesan. Untuk ketiga kalinya, ponsel itu kembali berbunyi, dan aku memberanikan diri untuk melirik ke ponselku.
         “Gue kangen sama lo.” tulis Radit di kotak chat.
Aku membaca pesan itu sebentar, kemudian menutup ponselku lagi,
“Kenapa setiap gue chat cuma lo baca doang? Gue ngelakuin kesalahan apa, ya?”
“Dit, gue juga kangen sama lo.” aku ragu dengan tulisanku sendiri, kemudian aku menghapus kembali chat yang harusnya aku kirim itu.
“Ceritain, deh, ke gue salah gue di mana.” Radit kembali mengirim chat sekali lagi, padahal aku belum membalas chat-nya di awal.
“Hola, Dit. Sorry gue baru nongol lagi, banyak kerjaan, nih, dan tugas kampus.”
“Lho, UI belum libur?”
Aku terdiam sebentar, bertanya-tanya dalam hati, “Lo tahu gue anak UI?”
“Di profile lo ada kali. Jurusan apa emang?”
“Sastra Indonesia.” jawabku pendek.
“Gue punya, tuh, temen anak sastra.”
Really?” sebenarnya aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak menanggapi Radit, tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku pun juga merindukannya.
“Namanya Dwitasari, pernah bikin film kayaknya.”
         Aku tergelak dan terdiam, aku tak tahu maksud Radit menanyakan hal ini padaku. Aku terdiam sebentar, berpikir beberapa saat untuk menjawab pertanyaan Radit.
         “Lama, deh, balesnya. Lo kenal?”
         Jemariku masih menahan agar tak membalas pesan Radit, tapi aku mencoba untuk menguatkan hati, “Nggak kenal, nggak terkenal kali.”
         “Masa nggak kenal? Atau jangan-jangan lo kali yang nggak gaul. Hehehe.” canda Radit dalam percakapan kami.
         Setiap menulis “hehehe” aku membayangkan wajah Radit yang benar-benar tertawa di depanku, suara tawa yang bisa saja menghipnotisku pada peristiwa tiga tahun yang lalu.
         “Iya, gue nggak kenal, anak sastra juga banyak kali. Masa gue kenal semuanya, gila aja.”
         “Lo itu lucu, Ri.”
         Aku menaikan sedikit alisku karena bagik percakapan berubah jadi menyenangkan, aku memutuskan untuk berbaring di tempat tidurku dan meninggalkan meja kerjaku. “Lucunya di mana, Dit?”
         “Setiap ngomong sama lo, gue ngerasa de javu. Gue seperti ngomong sama seseorang yang pernah gue temui, gue kenal, kayak temen lama aja.”
         “Gue emang orangnya asik dan enak diajak ngobrol, jadi lo maklumin aje, hehehe.” tanggapku dengan bumbu candaan.
         Aku menghela napas, seandainya Radit tahu bahwa dia sedang bercakap dengan seorang perempuan yang tiga tahun lalu pernah berbaring di dekat dadanya, seandainya dia tahu bahwa aku adalah perempuan yang menunggu pertemuan ini selama bertahun-tahun. Ah, seandainya….
         “Atau mungkin kita emang pernah kenalan sebelumnya, ya? Atau mungkin lo reinkarnasi dari sesuatu yang dulu pernah ada?”
         “Ngawur lo, Dit. Sadar lo. Mimpi mulu. Masih ngantuk emang?”
         “Cucana Cibinong bikin ngantuk banget. Mumpung gue juga libur kerja, nggak ada meeting.”
         “Oh, iya, lo belum cerita, kerjaan lo apa emang?”
         “Gue?” jawab Radit enteng dalam kotak chat, “Cuma manager biasa, di salah satu perusahaan pembasmi hama sawah.”
         Well, sounds good, sih.” dengan santai aku turut menyamangati Radit, “Semua yang pengin ada di bagian lo sekarang mungkin masih pengangguran atau bahkan kerja di tempat yang nggak dia inginkan.”
         Kalau boleh sedikit bercerita bagaimana perasaanku saat mendengar Radit telah menjadi seorang manager, sebenarnya ada banyak ledakan di hatiku. Aku jadi memutar ulang peristiwa tiga tahun lalu.
         Kepalaku yang masih bersandar di bahu Radit tidak bergerak sedikitpun. Bisa kudengar detak jantung Radit yang tetap pelan dan tenang kala itu, “Kamu kuliah di jurusan kayak gitu emang tahu bakalan jadi apa?”
         “Kuliah di mikrobiologi pertanian kerjanya jadi manager, sih, maunya. Aku mau kerja di perusahaan pemberantas hama di sawah gitu.” Radit menjelaskan dengan mantap cita-citanya ke depan.
         “Emang cita-cita kamu apa?” Radit balik bertanya, “Udah kebayang belum?”
         “Udah, sih, pengin jadi penulis.”
         Mendengar jawabanku, Radit sedikit tertawa, “Penulis, kok, ambil jurusan SMA malah IPA? Ambil IPA harusnya jadi dokter, insinyur, peneliti?”
         “Aku ambil IPA bukan karena suka matematika, fisika, kimia, biologi, dan temen-temennya, sih.”
         Radit mengela napas, “Terus apa? Disuruh Papa? Hahaha.”
         Aku mencubit lengan Radit, “Pertama, disuruh Papa. Kedua, biar keren. Penginnya, sih, ambil IPS, tapi Papa bilang ambil IPA aja. Aku ngikut.”
         “Polos banget, sih, kamu.” jemari Radit meraih rambutku, “Kalau gitu nanti pas kuliah jangan ikutin maunya Papa lagi, ya, ambil jurusan yang kamu mau.”
         “Durhaka, dong?” tanyaku dengan wajah tak percaya, “Papaku pinter, lho. Teknik Sipil, UGM, kampusnya sama kayak kampusmu.”
         “Seriusan?” tanya Radit selang beberapa detik, “Pinter banget pasti Papamu, ya? Jurusan favorit, sih, itu.”
         “Iya, dong, anaknya makanya pinter.
         Pria berkacamata yang jaraknya hanya beberapa sentimeter dari wajahku itu merangkulku di tengah dinginnya pendingin udara bus. Ah, sudah tiga tahun dan aku masih mengingat semua, semua yang mungkin telah Radit lupakan. Intinya, hal yang membuat aku terharu adalah Radit telah menjadi seseorang yang dia cita-citakan dan aku telah menulis enam buku hingga saat ini. Ya, waktu bergerak dengan cepat, aku dan Radit berubah jadi sosok yang (bisa dibilang) dewasa.
         Aku tak tahu apakah Radit mengingatku atau tidak, tapi dari mana dia tahu bahwa Dwitasari adalah seorang penulis? Dari mana Radit tahu bahwa Dwitasari berkuliah di jurusan sastra? Dari mana semua informasi itu Radit temukan?
         “Masa iya, Ri, lo nggak kenal Dwitasari?” tanya Radit sekali lagi.

         Aku terdiam lagi.

18 comments:

  1. Mengagumi itu indah,memang sangat indah.. tapi memiliki pasti akan sangat sangat sangat indah,bukankah perasaan itu hanya kita yang merasakan ini. Apa yang namanya berjuang dan mereka tidak akan mengerti apa yang selalu kita harapkan.. 😔

    ReplyDelete
  2. Lanjut kaaak. bikin pnasaran ceritanyaa :')

    ReplyDelete
  3. wow, keren kaka, selalu menunggu kelanjutannya :')

    ReplyDelete
  4. Iya nunggu lanjutan ceritanya, ini gue banget :'(

    ReplyDelete
  5. Ayo dong kelanjutannya :)
    Cerita kka bnyak menginspirasiku gmn rasanya mengagumi sseorg. aku mengagumi sseorg hmpir 5thun ini rasanya nyiksa

    ReplyDelete
  6. ayo dong kelanjutannya :)
    cerita kka banyak menginspirasiku. mengagumi seseorang bertahun-tahun tuh ga gampang itu nyiksa banget :')

    ReplyDelete
  7. ayo dong lanjutannya :)
    cerita kka banyak menginspirasi. mengagumi seseorang bertahun-tahun tuh ga gampang :')

    ReplyDelete
  8. ayo dong lanjutannya :)
    cerita kka banyak menginspirasi. mengagumi seseorang bertahun-tahun tuh ga gampang :')

    ReplyDelete
  9. ayo lanjutannya :)
    cerita kka banyak menginspirasiku. mengagumi seseorg bertahun-tahun itu bikin nyesek

    ReplyDelete
  10. kerennnn (y)
    ditunggu lanjutannya kaaaaaaa

    ReplyDelete
  11. lanjutuut kaaak penasaran inii :3

    ReplyDelete
  12. yang baca aja menghela nafas mulu, jadi posisiin diri jadi si sari :(

    ReplyDelete
  13. Ditunggu lanjutan ceritanya :) tulisan kakak bagus

    ReplyDelete
  14. ka dwita ditunggu lanjutannya, udah gak sabar pengen baca kelanjutan ceritanya

    ReplyDelete
  15. Gue bukan orang yg seneng baca sebelumnya, tapi dengan banyaknya penulis indonesia yg keren plus berbakat abissss. Gue makin seneng baca karya2nya :)

    ReplyDelete
  16. Sukak kali sama dialog2nya. Apalagai pesan2 radin dan sari . Next nnti buat cerita yg drama2 gitu ya kak , yg bnyak dialog2nya :)

    ReplyDelete